Sabtu, 28 Desember 2013



February 2, 2013
Filled under Seni dan budaya

Tari Jaipong Jawa Barat
      Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan
February 2, 2013
Filled under Seni dan budaya

Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah
       tarian jawa tengah, tari gambyong surakarta, tari gambyong penari, seni tari gambyong, musik pengiring tari gambyong, keterangan tari gambyong, tari gamyong, sejarah tari gambyong, video tari gambyong, iringan tari gambyong, gambar tari gambyong jawa tengah, tari gambyong pareanom, tari saman, tari jaipong, Sejarah Tari Gambyong Jawa Tengah, jawa tari gambyong …
June 3, 2013
Filled under Seni dan budaya

sejarah kerajaan mataram kuno di jawa tengah dan jawa timur
sejarah kerajaan mataram kuno di jawa tengah dan jawa timur sejarah kerajaan mataram kuno di jawa tengah dan jawa timur – Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha. Peninggalan …
February 3, 2013
Filled under Seni dan budaya

Tari Sintren Jawa Tengah
Tari Sintren Jawa Tengah Tari Sintren Jawa Tengah – Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di Cirebon. Tari Sintren Jawa Tengah ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersum…

Pembukaan UUD1945 - Makna alinea-alinea dari pembukaan UUD 1945 - Pokok-pokok pikiran dalam UUD 1945



Pembukaan UUD1945
-        Makna alinea-alinea dari pembukaan UUD 1945
-        Pokok-pokok pikiran dalam UUD 1945

Pengertian, kedudukan, sifat dan fungsi UUD 1945
-        Pengertian hukum dasar
-        Kedudukan UUD 1945
-        Sifat UUD 1945
-        Amandemen UUD 1945

Pemilu
-        Sistem Pemilu
-        Sifat Pemilu
-        Pelaksanaan Pemilu

Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
-        Kelembagaan Negara
-        Fungsi dan Tugas lembaga-lembaga negara

Dinamika pelaksanaan UUD 1945
-        Masa orde lama
-        Masa orde baru
-        Masa reformasi
Konstitusionalisme Dan Konstitusi


A.    Hakikat, Tujuan, dan Fungsi Konstitusi
Hakikat Konstitusi
Setiap negara modern dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem pengaturan yang dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme mengacu pada pengertian sistem institusionalisasi secara efektif dan terhadap suatu pelaksanaan pemeritahan. Dengan lain perkataan menurut Hamilton untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan. (H. Kaelan dan Ahmad Zubaidi, 2007). Pembatasan dan pengendalian tersebut hanya dapat dilakukan melalui konstitusi.
Istilah konstitusi dari sudut sejarah telah lama dikenal yaitu sejak zaman Yunani Kuno. Diduga Konstitusi Athena (abad 425 S.M.) merupakan konstitusi pertama yang ada di dunia dan dipandang sebagai alat demokrasi yang sempuna. Hal ini dikarenakan bahwa pemahaman orang tentang konstitusi sejalan pemikiran orang-orang Yunani Kuno tentang negara. Hal ini dapat diketahui dari paham Socrates yang telah dikembangkan oleh muridnya Plato, dalam bukunya politea atau negara yang memuat ajaran-ajaran Plato tentang negara dan hukum, dan bukunya Nomoi atau undang-undang. Dalam masyarakat Yunani kuno dikatakan bahwa politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Perbedaan dari istilah tersebut adalah politea mengandung kekuasaan lebih tinggi daripada nomoi, karena mempunyai kekuataan membentuk agar tidak bercerai berai. Dalam kebudayaan Yunani, istilah konstitusi berhubungan erat engan ucapan respublica constitiere, sehingga lahirlah semboyan yang berbunyi pricep legibus solutus est, salus publica suprema lex, yang berarti rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur daripada negara, oleh karena itu raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang. Dengan demikian, istilah konstitusi pada zaman Yunani Kuno diartikan hanya sebatas materiil saja karena konstitusi pada saat itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis (Trianto dan Titik Triwulan, 2007).
Berkaitan dengan istilah konstitusi, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Istilah konstitusi berasal dari kata kerja constitutuer (Prancis) yang berarti membentuk, yaitu membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung pengertian permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi memuat peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yaitu negara (Trianto dan Titik Triwulan, 2007).
Menurut Sri Sumantri : Istilah konstitusi berasal dari perkataan constitution, yang dalam bahasa Indonesia dijumpai istilah hukum yang lain, yaitu undang-undang dasar dan atau hukum dasar. Dalam perkembangannnya istilah konstitusi mempunyai dua pengertian yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit (Trianto dan Titik Triwulan, 2007). Sedangkan Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim berpendapat bahwa : Konstitusi yang berasal dari istilah constitution (Bahasa Inggris dan Prancis) atau verfasung (Belanda) memiliki perbedaan dari undang-undang dasar atau goundgesetz. Jika ada kesamaan, itu merupakan kekhilafan pandangan dinegara-negara modern, yang disebabkan oleh pengaruh paham kodifi kasi yang menghendaki setiap peraturan harus tertulis, demi mencapai kesatuan hukum dan kepastian hukum. Berangkat dari pendapat para ahli di atas tentang konstitusi, maka dapat kita lihat bahwa istilah konstitusi ini terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar dan ada yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan undang-undang dasar. Penyamaan arti konstitusi dan UUD inilah yang sesuai dengan praktik ketatanegaraan di Indonesia.
Terlapas dari pandangan dua kelompok di atas, istilah konstitusi dalam perkembangannya mempunyai dua pengertian yaitu : pertama, dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya; kedua, dalam pengerian sempit, konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang dasar ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.
Dalam terminologi hukum Islam, istilah konstitusi dikenal dengan sebutan dustur, yang berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerjasama antar sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam perkembangannya ada beberapa pendapat yang membedakan antara konstitusi dengan Undang-undang dasar, seperti Herman Heller (dalam A. Ubaidillah, 2006) berpandangan bahwa konstitusi lebih luas daripada undang-undang dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis melainkan juga bersifat sosiologis dan politis, sedangkan undang-undang dasar hanya merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yakni konstitusi tertulis. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh F. Laselle (dalam A. Ubaidillah, dkk., 2006: 63) yang membagi pengertian konstitusi menjadi dua.
1.      Sosiologis dan yuridis yaitu sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat (hubungan antara kekuasaan-kekuasaan dalam suatu negara), seperti raja, parlemen, kabinet, partai politik, dan lain-lain).
2.      Yuridis ialah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Berbeda halnya dengan C.F Strong yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar, ia mendefi nisikan konstitusi sebagi suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Dengan demikian hakikat dari konstitusi adalah suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa yang berbentuk suatu dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik dan juga berisi hak-hak asasi manusia (Ubaidillah, dkk., 2006: 64).

Tujuan dan Fungsi Konstitusi
Secara garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenangwenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Menurut Bagir Manan (2005), hakikat tujuan konstitusi merupakan perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk dipihak lain.
Sedangkan fungsi konstitusi adalah sebagai sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan atau bisa juga befungsi sebagai dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negara. Karena itu ruang lingkup isi undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis sebagaimana dinyatakan oleh Struycken memuat tentang:
a)      hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
b)      tingkat-tingkat tertinggi perkembanganketatanegaraan bangsa;
c)      pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
d)     suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan  bangsa hendak dipimpin   (Ubaidillah, dkk., 2006: 64)
.
B.     Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Konstitusi
Dalam praktik ketatanegaraan, seringkali sebuah konstitusi yang tertulis tidak dapat berlaku atau berjalan sesuai yang dikehendaki, hal ini disebabkan karena salah satu atau beberapa isi dari konstitusi tidak dijalankan oleh penguasa atau sekelompok golongan penguasa. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein mengadakan penyelidikan mengenai arti konstitusi tertulis dalam suatu lingkungan nasional, Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya 3 (tiga) nilai suatu konstitusi (Trianto dan Titik Triwulan, 2007).

Nilai Normatif
Nilai normatif diperoleh apabila penerimaan segenap rakyat suatu negara terhadap konstitusi benar-benar secara murni dan konsekuen. Konstitusi ditata dan dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikit pun. Dengan kata lain bahwa konstitusi telah dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dan jiwanya baik dalam produk hukum maupun dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah.

Nilai Nominal
Nilai nominal diperoleh apabila ada kenyataan sama dalam batas-batas berlakunya. Nilai yang terkait dengan batas-batas berlakunya itulah yang dimaksudkan dengan nilai nominal konstitusi. Contoh ketentuan pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan tidak berlaku lagi karena Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tugasnya hanya dalam masa peralihan dan badan itu sendiri tidak berlaku lagi sekarang. Meskipun ketentuan itu tidak dicabut tidak berarti masih berlaku secara efektif.

Nilai Semantik
Dalam hal ini konstitusi hanya sekedar istilah saja. Meskipun secara hukum konstitusi tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik, pelaksanaannya selalu dikaitkan denan kepentingan pihak yang berkuasa (dalam arti negatif).

C.    Klasifikasi atau Pembagian Konstitusi
Menurut K. C Wheare (dalam Ubaidillah, dkk., 2006), pada intinya konstitusi dapat diklasifi kasikan menjadi lima kategori berikut.

Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis.
Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki kesakralan khusus dalam proses perumusannya. Konstitusi tertulis merupakan suatu instrument yang oleh para penyususunnya disusun untuk segala kemungkinan yang dirasa terjadi dalam pelaksanaannya. Pada kasus lain, konstitusi tertulis dijumpai pada sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi proses undang-undang biasa mengembangkan konstitusi itu dalam aturan-aturan yang sudah disiapkan. Sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas dasar adat istiadat daripada hukum tertulis. Konstitusi tidak tertulis dalam perumusannya tidak membutuhkan proses yang panjang, misalnya penentuan quarum, model perubahan (amandemen atau pembaruan) dan prosedur perubahannya.

Konstitusi Fleksible dan Konstitusi Kaku.
Konstitusi yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan sebagai konstitusi fleksibel. Sebaliknya konstitusi yang mensyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya adalah konstitusi kaku. Menurut James Bryce, terdapat ciri-ciri khusus pada konstitusi fleksibel yaitu:
a)      elastis,
b)      diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang.
Sedangkan konstitusi kaku memiliki kekhususan sendiri yaitu :
a)      mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain,
b)      hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang berat.

Konstitusi Derajat Tinggi dan Tidak Derajat Tinggi
Konstitusi derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di atas peraturan perundang-undangan yang lain. Demikian juga syarat-syarat untuk mengubahnya sangatlah berat. Sedangkan konstitusi tidak sederajat ialah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi ini sama dengan persyaratan yang diperlukan untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain setingkat undang-undang.

Konstitusi Seri dan Konstitusi Kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk suatu negara, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan ini tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaan terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi.

Konstitusi Sistem Parlementer dan Konstitusi Presidensial
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk suatu negara, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan ini tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaan terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi.

D.    Sejarah Konstitusi di Indonesia dan Perubahannya
Dalam sistem ketatanegaraan modern dewasa ini, terdapat 2 (dua) model perubahan konstitusi yaitu: pertama, melalui renewel adalah sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan; kedua, melalui amandeman adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi dirubah konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, perubahan pada model amandemen tidak terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyertai konstitusi awal.
Berkaitan dengan perubahan konstitusi di atas, menurut Miriam Budiarjo (A. Ubaidillah, dkk., 2006: 72) ada 4 (empat) macam prosedur dalam perubahan konstitusi baik dalam model renewel maupun amandemen yaitu :
        i.            sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat diterapkan quorum untuk disidang yang membicarakan usul perubahanundang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif untuk menerimanya;
      ii.            referendum (pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak usulan perubahan undang-undang);
    iii.            negara-negara bagian dalam negara federal (misal negara Amerika Serikat : ¾ % dari 50 negara bagian harus menyetujui;
    iv.            perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

Perubahan konstitusi merupakan suatu keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, karena bagaimanapun konstitusi haruslah sesuai dengan realita kondisi bangsa dan warganegaranya. Dengan kata lain sifat dinamis suatu bangsa dapat terlihat dari adanya sebuah perubahan peradaban yang dapat diakomodasi dalam konstitusi negara tersebut. Indonesia sebagai negara hukum, memiliki konstitusi saat ini adalah UUD 1945. Dalam perjalanan sejarahnya, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa pergantian maupun perubahan,baik nama maupun substansinya,(Ubaidillah, dkk., 2006: 74).
1.      Undang-Undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus1945 sampai 27 Desember 1949.
2.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang lazim dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS dengan masa berlakunya sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3.      Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4.      Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia berlaku mulai 5 Juli 1959 sampai 19 Oktober1999.
5.      Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999 sampai 18 Agustus 2000).
6.      Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II ( 18 Agustus 2000 sampai 9 Nopember 2000).
7.      Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II dan III (9 Nopember 2000 sampai 10 Agustus 2002).
8.      Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, III dan IV (10 Agustus 2002 sampai sekarang).

Dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 karena ruh dan pelaksanaan konstitusi jauh dari paham konstitusi itu sendiri yang oleh Adnan Buyung Nasution (dalam Ubaidillah, dkk., 2006) dinyatakan bahwa pemerintahan yang konstitusional itu bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut esensi-esensi konstitusionalisme. Dengan adanya amandemen UUD 1945 maka secara langsung lembaga kenegaraan di Indonesia mengalami perubahan pula. Secara umum sistem kenegaraan di negara modern dewasa ini mengikuti pola pembagian kekuasaan dalam pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesqiue dengan teorinya yaitu Trias Politica. Menurutnya, dalam setiap pemerintahan terdaat 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga kekuasaan tersebut terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas maupiun alat perlengkapan yang melakukannya. Indonesia dalam sistem ketatanegaraannya menganut teori Trias Politicanya Montesqiue, hanya dalam pelakanaannya, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terpisah namun terapat pembagian kekuasan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam perjalanannya, sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar terutama sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hingga 4 (empat) kali perubahan. Perubahan tersebut oleh Mahfud MD dilatar belakangi :
        i.            Kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan sistem chek and balance yang seimbang dan setara diantara pemegang kekuasaan;
      ii.            Mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia;
    iii.            Adanya pasal-pasal yan multi tafsir;
    iv.            Terlalu banyaknya atribusi kewenangan (Mahfud MD, 2003).

Menurut Ubaidillah (2006), hasil amandemen yang berkaitan dengan kelembagaan negara dengan jelas dapat dilihat pada perubahan pertama UUD 1945 yang memuat pengendalian kekuasaan presiden, tugas serta wewenang DPR dan presiden alam hal pembentukan UU. Perubahan kedua UUD 1945 berfokus pada penataan ulang keanggotaan, fungsi, hak maupun cara pengisiannya. Perubahan ketiga UUD 1945 menitikberatkan pada penataan ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan presiden yang berkaitan dengan tatacara pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, pembentukan lembaga negarabaru yang meliputi Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial serta aturan tambahan untuk Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan perubahan keempat mencakupmateri tentang keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap serta kewenangan presiden. Lebih rinci, oleh Ubaidillah menjelaskan reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan dijelaskan sebagai berikut.

Lembaga Legislatif
Dalam ketatanegaraan Indonesia, lembaga legislatif dipresentasikan pada 3 (tiga) lembaga, yakni DPR, DPD dan MPR. Dari ketiga lembaga tersebut posisi MPR merupakan lembaga yang bersifat khas Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Repbulik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam menjalankan fungsinya, anggota DPR memiliki hak interpelasi (hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang berdampakpada kehidupan bermasyarakat dan bernegara), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga bertetangan dengan peratran perundang-undangan), dan hak menyatakan pendapat. Di luar institusi, anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pedapat, membela diri, hak imunitas dan hak protokoler. Sedangkan DPD merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945, gagasan pembentukan DPD adalah dalam rangka restrukturisasi parlemen di Indonesia menjadi dua kamar. Dengan demikian resmilah pengertian Dewan perwakilan di Indonesia mencakup DPR dan DPD, yang kedua-duanya secara bersama-sama disebut MPR.
Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakili masing-masing. DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. DPD adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang merupakan wakil-wakil propinsi dan dipilih melalui pemilihan umum yang memiliki fungsi :
a)      pengajuan usul, ikut dalam pembahasan an memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu;
b)      pengawasan atau pelaksanaan undang-undangtertentu.

Sedangkan DPR mempunyai tugas dan wewenang :
a)      Membentukundang-undang yang dibahas dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b)      Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c)      Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d)     Menetapkan APBN bersamapresiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
e)      Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN serta kebijakan pemerintah;
f)       Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK)
.
Lembaga Eksekutif
Dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana pada UUD 1945 bahwa kekuasaan eksekutf dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden yang dalam menjalankan kewajiban negara, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UUD 1945, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menurut perubahan keiga UUD 1945 Pasal 6A, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sedangkan sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR. Dengan adanya perubahan (amandemen) UUD 1945, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR dan kedudukan antara MPR dan presiden adalah setara.

Lembaga Yudikatif
Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan maka fungsi-fungsi legislatif, ekseutif dan yudikatif dikembangkan sebagai pembagian kekuasaan yang terpisah satu sama lainnya. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada MPR yang terdiri dari dua kamar yakni DPD dan DPR, maka kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dipahami mempunyai 2 (dua) pintu, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh :
        i.            Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibaahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
      ii.            Mahkamah Konstitusi. Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekasaan kehakiman,
UUD 1945 yang telah diamandemen juga mengintrodksi suatu lembaga baru yang bekaitan dengan penyelenggaraan kekuasaa kehakiman yaitu komisi yudisial. Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim.
Mahkamah Agung adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah :
a)      Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
b)      Mengajukan 3 orang anggota hakim konstitusi;
c)      Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh perubahan ketiga UUD 1945, yang mempunyai kewajiban dan kewenangan adalah sebagai berikut :
a)      Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
b)      Memberi putusan atas penapat DPRmengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD 1945.

E.     Konstitusi Sebagai Pengatur Kehidupan Kenegaraan yang Demokratis
Konstitusi merupakan sarana bagi terciptanya kehdupan kenegaraan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Hal ini dikarenakan bila negara mempunyai konstitiusi yang demokratis, maka konstitusi yang demokratis tersebut dapat dijadikan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut. Jika konstitusi dipahami sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka konstitusi memiliki kaitan yang cukup erat dengan penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Dengan demikian konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan kata lain, negara yang memilih demokrasi sebagai pilihannya, maka konstitusi demkratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula. Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perlu dikawal agar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi warga negara perlu ditetapkan di dalam kosntitusi untuk ikut berpartisipasi dan mengawal proses demokratisasi pada sebuah bangsa.
Karena konstitusi menjadi piranti yang sangat penting bagi sebuah negara demokrasi, yang selanjutnya secara langsung konstitusi menjadi daya ikat yang berarti bagi penyelenggara negara dan warga negara bagi terbentuknya negara demokrasi, maka setiap konstitusi yang digolongkan sebagai
konstitusi yang demokratis haruslah memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri, yang terdiri atas :
1.      menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan;
2.      mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak minoritas;
3.      adanya jaminan pengharaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara.
4.      pembaasan pemerintahan;
5.      adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang bebas;
6.      adanya jaminan berlakunya hukm dan keadilan melalui proses peradilan yang independen, dan
7.      adanya pembatasan dan pembagian kekuasaan negara.
Konstitutionalisme, adalah sebuah paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi. Dalam pengertian yang jauh lebih luas jangkauannya, menurut Soetandyo, ide konstitusi disebutnya sebagai konstitutionalisme, dan digambarkan bahwa paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak – yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan) – inilah yang di dalam konsep moral dan metayuridisnya disebut “konstitutionalisme”.
Paham ini mengantarkan perdebatan awal dalam sistem ketatanegaraan yang diatur dalam teks hukum dasar sebuah negara, atau disebut kontitusi. Konstitusi sebagai pengertian sosial politik. political decision. Bangunan-bangunan yang ada dalam masyarakat tersebut sebagai hasil keputusan masyarakat itu sendiri.
Konstitusi sebagai pengertian hukum, dalam pengertian ini keputusan-keputusan masyarakat dijadikan perumusan yang normative, yang kemudian harus berlaku. Contoh: aliran kodifikasi, yaitu yang menghendaki sebagaian hukum ditulis dengan maksud untuk mencapai  kesatuan  hukum,  kesederhanaan  hukum,  dan  kepastian  hukum.  Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum
Pengertian ini adalah suatu peraturan hukum yang tertulis. Dengan demikian Undang-undang dasar adalah salah satu bagian dari konstitusi. Kutipan pikiran Rousseau di atas, telah mengilhami lahirnya De Declaration des Droit de l’Homme et du Citoyen, dan pembentukan Konstitusi Perancis (1791), serta cikal bakal lahirnya berbagai konstitusi modern di dunia

F.     Pengertian Hukum Dasar Negara
Setiap negara berdaulat memiliki instrument menjelaskan eksistensi sebuah negara. Salah  satunya  adalah  Undang-Undang  Dasar  atau  konstitusi  negara.  Ada  dua  macam hukum dasar, yaitu hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar) dan hukum dasar tidak tertulis (Konvensi).

1.      Hukum Dasar Tertulis (Undang-Undang Dasar)
E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law mengatakan bahwa secara umum undang-undang dasar adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan cara kerja badan- badan tersebut. Jadi pada prinsipnya mekanisme dan dasar setiap sistem pemerintahan diatur dalam undang-undang dasar. Bagi mereka yang menganggap negara sebagai satu organisasi kekuasaan, maka mereka dapat memandang undang-undang dasar sebagai sekumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut dibagi antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Indonesia tidak menganut sistem Trias Politika tersebut, tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan dengan lima lembaga negara).
Undang-undang dasar menentukan bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-undang dasar juga merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara (Budiarjo, 1981: 95-96 ).
2.      Hukum Dasar Tak Tertulis (Konvensi)
Konvensi adalah hukum yang yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggara negara secara tidak tertulis. Sifat-sifat konvensi adalah sebagai berikut:
a.   Merupakan kekuasaan yang  muncul berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
b.   Tidak bertentangan dengan undang-undang dasar dan berjalan sejajar. c.   Dapat diterima oleh seluruh rakyat.
d.   Bersifat sebagai pelengkap yang tidak terdapat di dalam undang-undang dasar.

Konvensi  misalnya  terdapat  pada  praktek  penyelenggara  negara  yang  sudah menjadi hukum dasar yang tidak tertulis, seperti:
a.   Pidato kenegaraan Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus di dalam sidang
Dewan Perwakilan Rakyat.
b.   Pidato  Presiden  yang  diucapkan  sebagai  keterangan  pemerintah  tentang  RAPBN
pada minggu pertama Januari setiap tahunnya.
c.   Pidato  pertanggungjawaban  Presiden  dan  Ketua  Lembaga  Negara  lainnya  dalam sidang Tahunan MPR.(yang dimulai sejak tahun 2000).
d.   Mekanisme pembuatan GBHN.
Keempat hal tersebut secara tidak langsung merupakan realisasi UUD 1945 (merupakan pelengkap). Yang berwenang mengubah konvensi menjadi rumusan yang bersifat tertulis adalah MPR, dan rumusannya bukan berupa hukum dasar   melainkan tertuang dalam ketetapan MPR.

3.   Pengertian, Kedudukan, Sifat Dan Isi Undang-Undang Dasar 1945
a.   Pengertian UUD 1945

Sebelum amandemen, yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari: (1) Pembukaan, yang terdiri dari 4 alinesa; (2) Batang Tubuh UUD 1945, yang berisi Pasal 1 s/d 37 yang dikelompokkan dalam 16 bab, 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan; serta (3) Penjelasan UUD 1945 yang terbagi atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Pembukaan, Batang Tubuh yang memuat pasal-pasal, dan Penjelasan UUD 1945 merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak, dapat dipisah-pisahkan. Naskah yang resmi telah dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 yang terbit pada tanggal 15 Februari 1946 sebuah penerbitan resmi pemerintah Republik  Indonesia. UUD 1945 telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945.
Namun berdasarkan hasil Sidang Tahunan MPR 2002, sistematika UUD 1945 adalah Pembukaan dan pasal-pasal yang terdiri dari 37 pasal, ditambah 3 pasal aturan: peralihan dan 2 pasal aturan tambahan (Lihat Pasal 2 Aturan Tambahan UUD 1945 hasil amandemen keempat).
Yang dimaksud dengan undang-undang dasar dalam UUD 1945 adalah hukum dasar   tertulis   yang   bersifat   mengikat   bagi   pemerintah,   lembaga   negara,   lembaga masyarakat,  dan  warga  negara  Indonesia  di  mana  pun  mereka  berada,  serta  setiap penduduk yang ada di wilayah Republik Indonesia. Sebagai hukum, UUD 1945 berisi norma, aturan, atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati.

b.  Kedudukan UUD 1945

Undang-undang  dasar  merupakan  hukum  dasar  yang  menjadi  sumber  hukum. Setiap  produk  hukum  seperti  undang-undang,  peraturan,  atau  keputusan  pemerintah. bahkan setiap kebijaksanaan pemerintah harus berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945.
Dalam kerangka tata susunan norma hukum yang berlaku, UUD 1945 merupakan hukum  yang  menempati  kedudukan  tertinggi.  seperti  telah  dijelaskan,  UUD  1945 ditetapkan dan dijelaskan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam ayat (2) aturan tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam 6 bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan, UUD. Aturan tambahan ini menunjukkan bahwa status UUD 1945 adalah sementara. Sesungguhnya rencana pembuat UUD 1945 adalah bahwa sebelum tanggal 17 Agustus 1946 undang-undang dasar tetap diharapkan dapat disusun oleh badan yang berwenang, yaitu  MPR  hasil  Pemilu  sebagaimana  ditetapkan  dalam UUD  1945  itu  sendiri,  tetapi suasana politik waktu itu tidak memungkinkan realisasi rencana tersebut. Kini UUD 45 tidak bersifat sementara lagi, karena telah ditetapkan oleh MPR menjadi konstitusi tertulis. Namun UUD 45 tetap bersifat fleksibel.

c.   Sifat UUD 1945
Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa UUD 1945 bersifat  singkat  dan  supel,  yakni  hanya  memuat  37  pasal,  ditambah  4  pasal  aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan. Setelah amandemen keempat (ST MPR 2002), sifat singkat dan supel masih mewarnai UUD 1945 karena ia masih berisi hal-hal pokok dan masih dimungkinkan untuk terus disesuaikan dengan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. UUD 1945 hasil amandemen terdiri atas 37 pasal ditambah 3 pasal aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.
Sifat  undang-undang  yang  singkat  dan  supel  itu  juga  dikemukakan  dalam
Penjelasan:
1.  Undang-Undang Dasar itu sudah cukup apabila telah memuat aturan-aturan pokok saja, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain- lain  penyelenggara    negara    untuk    menyelenggarakan    kehidupan    negara    dan kesejahteraan sosial.
2.  UUD 1945 yang singkat dan supel itu lebih baik bagi negara seperti Indonesia ini, yang masih  harus  berkembang,  harus  terus  hidup  secara  dinamis,  masih  terus  akan mengalami perubahan-perubahan.
Dengan aturan-aturan yang tertulis, yang hanya memuat aturan pokok, Undang- Undang Dasar menjadi aturan yang luwes, supel, dan tidak ketinggalan zaman. Ini tidak berarti bahwa UUD 1945 tidak lengkap atau tidak sempurna dan mengabaikan kepastian. Keluasan atau fleksibilitas ini tetap menjamin kejelasan dan kepastian hukum apabila aturan-aturan pokok itu menyerahkan pengaturan lebih lanjutnya kepada aturan hukum dalam tingkat  yang  lebih  rendah,  misalnya  ketetapan  MPR  dan  undang-undang,  yang pembuatan, pengubahan, dan pencabutannya lebih mudah daripada UUD 1945.
Selain itu, penjelasan UUD 1945 menekankan bahwa semangat penyelenggara negara,  semangat  pemimpin  pemerintahan  sangat  penting.  Karena  itu, setiap penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan selain harus mengetahui teks UUD1945 juga harus menghayati semangatnya. Dengan semangat penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan yang baik, pelaksanaan aturan-aturan pokok yang tertera dalam UUD 1945 akan baik dan sesuai dengan maksud ketentuannya.
d.  Isi Undang Undang Dasar 1945
Setelah UUD 45 diamandemen 2002, maka tetap 16 bab walaupun Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus, namun jumlah babnya bertambah sebanyak
22 bab. Demikian pula pasalnya tetap 37 pasal dan 3 pasal Aturan Tambahan serta 2 pasal Aturan Tambahan, namun dari pasal-pasalnya dikembangkan dan ditambah ayat-ayatnya, sehingga jumlah pasalnya sebanyak 72 pasal (lihat lampiran).
C.  Amandemen/Perubahan UUD’45 Dan Dinamika Pelaksanaan UUD’45 Sejak Awal
Kemerdekaan Hingga Masa Reformasi
a.  Proses Perubahan/Amandemen Undang Undang Dasar 1945

Pasal terakhir Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen juga memuat tentang perubahan Undang-Undang Dasar, terutama mengingat agar Undang-Undang Dasar itu senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan aspirasi rakyat. Pasal 37, memuat 5


ayat  berkaitan  dengan  ketentuan  tentang  perubahan  Undang-Undang  Dasar,  sebagai berikut:
(1)  Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2)  Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk    mengubah    pasal-pasal    Undang-Undang    Dasar,    Sidang    Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan  sekurang-kurangnya  lima  puluh  persen  ditambah  satu  dan  seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5)  Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.


Pasal yang mengatur tentang perubahan Undang-Undang dasar ini ditentukan berkaitan  dengan  pasal-pasal  Undang-Undang  Dasar,  jadi  bukan  terhadap  Pembukaan UUD 1945. Logikanya kalau hak itu menyangkut Perubahan Pembukaan UUD 1945, hak itu  sama  halnya  mengubah  seluruh  sistem  negara  yang  meliputi  bentuk  negara,  sifat negara. Berketuhanan, tujuan negara dan dasar negara Pancasila. mengingat Pembukaan sebagai deklarasi bangsa Indonesia dan dalam ilmu hukun disebut sebagai ‘Stoatsfun damentainomy’, yang merupakan sumber norma hukum positif Indonesia.


b. Dinamika pelaksanaan UUD’45 sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi.

Sejarah pelaksanaan UUD 1945 terbagi alas dua kurun waktu, yaitu masa kemerdekaan (tahun 1945 s/d 27 Desember 1949) dan pada tahun 1959 sampai sekarang.

1.   Masa Kemerdekaan (1945-1949)

Kurun waktu ini adalah masa revolusi fisik karena bangsa Indonesia harus berjuang kembali  mempertahankan  negara  dari  rongrongan  penjajah  yang  tidak  mau  mengakui


kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini juga terjadi penyimpangan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer, karena NKRI berubah menjadi negara RIS sesuai dengan hasil sidang KMB. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, karena pada tanggal
17 Agustus 1950 negara RIS berubah menjadi NKRI dengan UUDS’50.
Tapi ternyata pelaksanaan UUDS’50 itu tidak memuaskan rakyat dan stabilitas nasional tidak dapat tercapai. Pada masa itu terjadi pergantian kabinet sebanyak, 7 kali yaitu:
1)   Kabinet Natsir (6-9-1950 s/d 27-4-1951)
2)   Kabinet Sukirman (27-4-1951 s/d 3-4-1952)
3)   Kabinet Wilopo (3-4-1952 s/d 1-8-1953)
4)   Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1-8-1953 s/d 12-8-1955)
5)   Kabinet Burhanudin Harahap, (12-8-1955 s/d 24-3-1956)
6)   Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24-3-1956 s/d 9-4-1957)
7)   Kabinet Juanda (9-4-1957 s/d 10-7-1959)
Karena  seringnya  pergantian  kabinet,  konstituante  mengadakan  sidang  namun selalu gagal, sehingga Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden pad tanggal 5 Juli 1959.

2. Masa Orde Lama (1959-1966)
1)  Pengertian Orde Lama
Orde lama mulai pada tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966 saat diserahkannya Supersemar oleh Presiden kepada Letjen Soeharto. Di masa ini banyak terjadi penyelewengan  terhadap Pancasila, misalnya Nasakom, pengangkatan Presiden seumur  hidup,  dan  pembubaran  DPR  oleh  Presiden.  Ciri-ciri  Orde  Lama  adalah sebagai berikut:
a)     Mempunyai landasan idil Pancasila dan landasan struktural UUD 1945. b)     Mempunyai tujuan:
i.   Membentuk   NKRI   yang   berbentuk   kesatuan   dan   kebangsaan   yang demokratis.
ii.  Membentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual dalam wadah NKRI.
iii.  Membentuk kerja sama yang baik dengan semua negara di dunia, terutama dengan negara-negara di kawasan Asia-Afrika
iv.  Melaksanakannya dengan meluruskan segala cara.
2)  Beberapa Penyimpangan Dalam Pelaksanaan Uud 1945
UUD 1945 pada masa ini tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum terbentuk sesuai UUD
1945, jadi hanya bersifat sementara. Penyimpangan yang terjadi antara lain Presiden membuat UU tanpa persetujuan DPR dan Presiden membubarkan DPR yang tidak menyetujui APBN yang diajukannya. Presiden memegang kekuasaan sepenuhnya dan kemudian MPR mengangkatnya sebagai Presiden seumur hidup. Keadaan tersebut membuat stabilitas nasional makin memburuk. Berbagai ancaman datang silih berganti. Puncak  dari  semua  itu  adalah  terjadinya  pemberontakan  PKI  pada  tanggal  30
September 1965. Dalam situasi ini Presiden Soekarno memberikan Surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan pemulihan keadaan dan mengembalikan stabilitas negara.

3.   Masa Orde Baru

1)  Pengertian Orde Baru

Orde Baru lahir sejak diselenggarakannya seminar TNI/AD yang kedua di Seskoad Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966. Ciri-ciri Orde Baru hampir sama dengan Orde Lama, kecuali landasannya yang sedikit mengalami perubahan. Landasan konstitusionalnya tetap UUD 1945, tetapi landasan strukturalnya adalah kabinet Ampera sedangkan landasan operasionalnya adalah Tap MPR sejak sidang umum ke IV tahun 1966. Selain itu, tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan keadilan demi Ampera, Tritura, dan Hanura secara konstitusional. Adapun pelaksanaan Pancasila   dilakukan   secara   murni   dan   konsekuen.   Orde   Baru   menghendaki kepentingan  nasional  tetapi  tidak  meninggalkan  komitmen  anti-kolonialisme.  Orde Baru menginginkan suatu tatanan hidup, perekonomian, dan politik yang stabil serta melaksanakan cita-cita demokrasi politik. Strategi dan taktik Orde Baru ini tercermin dalam program kabinet Ampera.

2) Langkah Pengamalan UUD 1945 Oleh Orde Baru

Orde Baru berhasil menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengoreksi kesalahan yang dilakukan di masa Orde Lama. Produk hukum yang dihasilkan antara lain pengesahan Supersemar ke dalam Tap. MPR No.IX/MPR/1966, Tap. MPR No.XXV/MPR/1966 tentang pembubaran PKI dan ormasnya, dan Tap MPR No.XII/MPR/1966 tentang perubahan landasan di bidang ekonomi dan pembangunan. Sidang istimewa MPRS tahun 1967 menarik mandat MPRS dari Presiden Soekarno dan pada sidang istimewa pada tahun 1968 MPRS mengangkat Soeharto menjadi presiden sampai terselenggaranya Pemilu. Kemudian terbentuklah lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK yang sesuai dengan UUD 1945.
Mekanisme kegiatan kenegaraan lima tahunan secara garis besar adalah sebagai berikut:
1) MPR mengadakan sidang umum, dan Pemilu

2) Dalam sidang umum MPR bertugas;

a. Menetapkan GBHN.

b. Memilih presiden dan wakilnya untuk melaksanakan   GBHN.

3) Presiden, wakilnya, dan para menteri negara menjalankan tugas berdasarkan UUD

1945.

4) Tugas Presiden:

a. Membentuk lembaga tinggi negara, yaitu DPA dan BPK. b. Melaksanakan Pemilu tepat waktu.
c. Mengajukan APBN setiap tahun tepat waktu dan harus menyusun Repelita.

d. Membuat UU dengan persetujuan DPR dalam rangka pelaksanaan UUD 1945 dan GBHN.
5)  DPR bertugas mengawasi pelaksanaan tugas Presiden.

6)  Lembaga negara lainnya melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan UUD 1945 dan undang-undang.


4.   Masa Reformasi


Dalam  proses  reformasi  dewasa  ini,  terdapat  berbagai  pendapat  dan  kajian untuk mengamandemen UUD 1945, karena UUD 1945 harus bersifat fleksibel, yaitu mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Keinginan untuk mengamandemen itu juga muncul karena adanya sifat “muitiinter- pretable” pada pasal-pasal UUD 1945, sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan terutama Presiden di masa Orde Lama maupun Orde Baru.


Melalui Sidang Umum MPR tahun 1999, SidangTahunan MPR tahun 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002, UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen). Perubahan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Batang Tubuh UUD 1945 dan tidak mengubah Pembukaan UUD
1945. Karena Pembukaan UUD 1945 merupakan ikrar berdirinya negara Kesatuan Republik Indonesia dan ia memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, MPR berketetapan hati untuk tidak mengubahnya. Pembukaan UUD 1945 serta amandemen UUD 1945 berdasarkan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002.

a.    SISTEM KETATANEGARAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

a. Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara R.I.

Sistem pemerintahan Indonesia dijelaskan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), yang menyebutkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia. Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, ketujuh kunci pokok tersebut masih relevan dalam sistem pemerintahan Indonesia dewasa ini. Ketujuh kunci pokok itu adalah:

1)  Indonesia adalah Negara yang Berdasarkan Hukum (Rechtsstsat)

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machts-staat). Artinya, setiap tindakan harus berlandaskan  hukum,  sehingga  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  hukum  dan tekanan yang dilakukan terhadap hukum juga berarti terhadap kekuasaan. Hal ini terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan cita hukum yang menjiwai Batang Tubuh UUD 1945 maupun dasar hukum yang tidak tertulis.
Yang dimaksud dengan negara hukum bukan hanya, dalam arti formal saja, yaitu sebagai penjaga atau alat dalam menindak segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan, tetapi juga dalam arti materiil, yaitu alat dalam menciptakan kesejahteraan sosial seluruh rakyat Indonesia, yang sesuai dengap alinea dalam Pembukaan UUD 1945. Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti materiil adalah sebagai berikut:


a.  Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; lihat UUD 1945 Pasal 2 ayat (I), 4 ,

5, 19, 20, 23E dan 24, 24A-C dan pasal-pasal lain sampai amandemen keempat.

2. Diakuinya  hak  asasi  manusia  yang  tertuang  dalam  konstitusi  dan  peraturan perundang-undangan; lihat UUD 1945 Pasal 27, 28, 28A-28J, 29 ayat (2) dan 31 ayat (1).
3. Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas); lihat UUD 1945

Pasal 1 ayat (3).

4. Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak; lihat UUD 1945

Pasal 24.

5. Semua  warga  negara  memiliki  kedudukan  yang  sama  di  mata  hukum  dan pemerintahan, wajib menjunjung hukum dan pemerintahai tersebut tanpa kecuali, dan berhak mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; lihat UUD 1945 Pasal 27 ayat (I)dan(2).
6. Pemerintah berkewajiban memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan rakyat Indonesia; lihat UUD 1945 Awal tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 31, 33 dan 34.


2)   Sistem Konstitusional

Pemerintahan Indonesia bersifat konstitusional, bukan absolut (tidak terbatas). Pernyattaan   itu   menunjukkan   bahwa   pemerintahan   dijalankan   menurut   sistem


konstitusional.  Dalam  sistem  ini,  penggunaan  kekuasaan  secara  sah  oleh  aparatur negara dibatasi secara formal berdasarkan UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan aparatur negara dan pemerintahan harus bersumber dari UUD 1945 atau undang-undang yang menyelenggarakan UUD 1945.


3)   Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat

Kedaulatan,  berada  di  tangan  rakyat  dan  dilaksanakan  menurut  UUD  1945 (Pasal 1 ayat 2). Badan yang diberi kewenangan untuk melaksanakan kedaulatan ini adalah MPR, yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini bertugas rnenetapkan UUD, serta melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara berdasarkan haluan- haluan yang telah ditetapkan oleh MPR, serta bertanggung jawab kepada majelis ini. Karena ia adalah mandataris MPR, maka dia. wajib menjalankan putusan-putusan majelis. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tugas MPR sangat luas dan segala  keputusannya  mencerminkan  keinginan  dan  aspirasi  rakyat.  Anggota  MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih oleh rakyat melalui Pemilu.


4)   Presiden adalah Penyelenggara Pemerintah Negara yang Tertinggi di bawah

Majelis Permusyawaratan Rakyat

Pasal 4 ayat (I) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan dan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahan. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang wakil presiden.
Tugas dan kewajiban Presiden serta Wakil Presiden dapat dilihat dalam pasal- pasal UUD 1945 hasil amandemen keempat.



5)    Presiden Tidak Bertanggung Jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat

UUD   1945   telah   menggariskan   kerjasama   antara   Presiden   dan   Dewan Perwakilan Rakyat, antera lain dalam membentuk undang-undang dan menetapkan anggaran serta belanja negara, pengangkatan duta dan konsul, penganugerahan gelar dan tanda jasa, pemberian amnesti dan abolisi dan lain-lain. Dalam perkara-perkara tersebut Presiden harus, mendapatkan persetujuan DPR. Karena itu  Presiden dan DPR

lxxxviii

harus bekerja sama, tetapi tidak dalam arti Presiden bertanggung jawab kepada DPR karena kedudukan Presiden tidak tergantung kepada DPR. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (Lihat Pasal 7C) dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden karena mereka adalah mitra kerja. DPR hanya mengawasi Presiden dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi DPR dapat mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada MPR (Lihat Pasal 7A, 7B).


6)   Menteri  Negara  adalah  Pembantu  Presiden  dan  Menteri  Negara  Tidak

Bertanggung Jawab kepada Dewan Perwakilan  Rakyat

UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh. Menteri-menteri negara dan dapat memberhentikan menteri-menteri negara menurut ketentuan UU (lihat Pasal
17). Menteri-menteri negara itu tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukan mereka tidak tergantung pada DPR tetapi pada Presiden karena mereka adalah pernbantu Presiden. Presiden berwenang mengangkat dari memberhentikan menteri. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian diatur oleh undang-undang.


7)   Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas

Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa “Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, ia bukan diktator, artinya kekuasaannya tidak tak terbatas”. Seperti dijelaskan sebelumnya., sistem pemerintahan konstitusional tidak bersifat Absolut. Keberadaan DPR dan menteri negara dapat mencegah terjadinya pemerintahan yang absolut atau kekuasaan mutlak.Dalam hal ini kedudukan dan peran DPR sangatlah kuat, karena selain tidak dapat dibubarkan oleh Presiden, dia juga berwenang mengajukan usul dan persetujuan pembentukan undang-undang maupun penetapan anggaran dan belanja negara. Selain itu, karena semua anggota DPR adalah anggota MPR maka DPR memiliki wewenang untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden. Jika Presiden benar-benar melanggar haluan yang telah ditetapkan oleh MPR. Jadi jelas bahwa hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden sangat erat.


D. Susunan Kekuasaan Negara R.I.




Konsep  kekuasaan  negara  menurut  demokrasi  sebagai  terdapat  dalam  UUD  1945 sebagai  berikut:


(1) Kekuasaan di Tangan rakyat

(a) Pembukaan  UUD  1945  Alinea  IV..”...Maka  disusunlah  kemerdekaan  kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.......
(b)Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan” (pokok Pikiran III).


(2)  Pembagian Kekuasaan

Sebagaimana dijelaskan bahwa kekuasaan. tertinggi adalah ditangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar oleh karena itu pembagian kekuasaan menurut demokrasi sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut :
(a) Kekuasaan Eksekutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). (b)Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPR dan DPD (Pasal 5) ayat
(1), Pasal 19 dan Pasal 22C UUD 1945).

(c) Kekuasaan Yudikatif, didelegasikan kepada Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat (1) UUD

1945).

(d)Kekuasaan   Inspektif,   atau   pengawasan   didelegasikan   kepada   Badan   Pemeriksa

Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini termuat dalam UUD

1945 Pasal 20-A ayat (1) “.... DPR juga memiliki fungsi pengawasan”. artinya DPR

melakukan pengawasan terhadap Presiden selaku penguasa eksekutif.

(e) Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada Kekuasaan Konsultatif, yang dalam

UUD lama didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA). (Pasal 16 UUD

1945). Dengan lain perkataan UUD 1945 hasil amandemen telah Menghapuskan lembaga Dewan Pertimbangan Agung, karena hal ini berdasarkan kenyataan pelaksanaan kekuasaan negara fungsinya tidak jelas. Mekanisme pendelegasian kekuasaan yang demikian ini dalam khasanah ilmu hukum tatanegara dan ilmu politik


dikenal  dengan  istilah  ‘distribution  of  power’  yang  merupakan  unsur  mutlak  dari negara demokrasi.




(3) Pembatasan kekuasaan

Pembatasan kekuasaan menurut konsep UUD 1945, dapat dilihat melalui proses atau mekanisme 5 tahunan kekuasaan dalam UUD 1945 sebagai berikut :
(a) Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ‘kedaulatan di tangan rakyat...”. Kedaulatan politik rakyat dilaksanakan lewat Pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap 5 tahun sekali.
(b)“Majelis   Permusyawaratan   Rakyat   memiliki   Kekuasaan   melakukan   perubahan terhadap UUD. Melantik Presiden dan  Wakil Presiden. serta melakukan impeachment terhadap Presiden jikalau melanggar konstitusi.
(c) Pasal 20 ayat (1) memuat “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi pengawasan yang berarti melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden dalam jangka waktu 5 (lima) tahun”.
(d)Rakyat kembali mengadakan Pemiku setelah membentuk MPR dan DPR (rangkaian kegiatan 5 (lima) tahunan sebagai realisasi periodesasi kekuasaan).
Dalam pembatasan kekuasaan menurut konsep mekanisme 5 tahunan kekuasaan sebagaimana tersebut di atas, menurut UUD 1945 mencakup antara lain: periode kekuasaan, pengawasan kekuasaan dan pertanggungjawaban kekuasaan.


(4)  Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut:

a) Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok Pikiran ke III. yaitu” ... Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia”.
b) Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya

Pasal 7B ayat (7).


Ketentuan-ketentuan tersebut di atas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hukum tata negara Indonesia adalah berdasarkan :
a) Keputusan  didasarkan  pada  suatu  musyawarah     sebagai  asasnya,  artinya  segala keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan, dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
b) Namur demikian jikalau mufakat itu tidak tercapai, maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak.


(5)  Pengawasan

Dalam UUD 1945 termuat konsep pengawasan. Konsep pengawasan tersebut menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:
Pasal I ayat (2). “Kedaulatan adalah ditangan   rakyat dan dilakukan menurut   Undang- Undang Dasar”. Dalam penjelasan terhadap pasal I ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan  tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan berdasarkan UUD.
a) Berbeda  dengan  UUD  lama  sebelum  dilakukan  amandemen,  MPR  yang  memiliki kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaaan kekuasaan rakyat. Maka menurut UUD hasil amandemen MPR kekuasaannya menjadi terbatas, yaitu meliputi tiga hal, yaitu mengubah UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden dan memberhentikan Presiden dengan masa jabatannya atau jikalau melanggar UUD.
b) Pasal  2  ayat  (1),  Majelis  Permusyawaratan.  Rakyat  terdiri  dari  anggota  Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut  maka  menurut  UUD  1945  hasil  amandemen  MPR  hanya  dipilih  melalui Pemilu.
c) Penjelasan UUD tentang kedudukan DPR, disebut “...kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden...”


Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka konsep pengawasan menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum dalam UUD 1945 pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a) Dilakukan   oleh   seluruh   warga   negara,   karena   kekuasaan   di   dalam   sistem ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat, dan
b) Secara formal ketatanegaraan pengawasan berada pada rakyat.





E. Sistem Kelembagaan Negara RI

1. Kelembagaan Negara



UUD 1945 bukan hanya mengandung semangat dan perwujudan pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaannya, tetapi juga merupakan rangkaian kesatuan pasal- pasalnya. Sebagian dari pasal itu berisi tentang kedudukan, wewenang, tugas dan hubungan antar lembag,a negara. Dalam Tap. MPR No.VI/MPR/1973 dan Tap. MPR No.III/MPR/1978. MPR me-netapkan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara sedangkan lembaga tinggi negara terdiri Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung.




Berdasarkan hasil Sidang Tahunan MPR 2002, Dewan Pertimbangan Agung ditiadakan. Sehingga struktur ketatanegaraan Republik Indonesia menjadi:
Hal-hal mengenai DPR diatur dalam Pasal 19, 20, 20A, 21, 22B, 22C, dan dalam pasal-pasal   yang   berkaitan   dengan   kerja-sama   dengan   Presiden,   sedangkan   Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D.

BPK mempunyai tugas khusus untuk memeriksa keuangan negara dan kemudian hasilnya dilaporkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (Pasal 23 E, Pasal 23F, dan 23G). Badan ini bersifat bebas dan mandiri, jadi tidak dipengaruhi atau mempengaruhi kekuasaan pemerintah. Tugas BPK antara lain:
1. Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2. Merneriksa semua pelaksanaan APBN.
Sedangkan kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya (Lihat Pasal 24, 24AJ yang terlepas dari pengaruh semua lembaga negara.   Sedangkan kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di bawahnya (Lihat Pasal 24, 24AJ yang terlepas dari pengaruh semua lembaga negara.
Komisi Yudisial bersifat mandiri dan mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim  agung  dan  wewenang  lain  dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan, martabat serta perilaku hakim. (Lihat Pasal 24B).
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dengan keputusan yang bersifat final, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan kewenangan yang diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (Lihat Pasal 24C)

F. HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA RI
i. Hubungan Antara MPR Dan Presiden

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tinggi sebagai wakil rakyat sesuai dengan UUD 1945 (Pasal I ayat (2) ). di samping DPR dan Presiden. Hal  ini  berdasarkan  ketentuan  dalam  UUD  1945  bahwa  baik  Presiden  maupun  MPR dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1)). Berbeda dengan kekuasaan  MPR   menurut   UUD   1945   sebelum   dilakukan   amandemen   2002,   yang memiliki  kekuasaan  tertinggi  dan  mengangkat  serta  memberhentikan  Presiden  dan/atau Wakil Presiden.


Sesuai  dengan  ketentuan  UUD  1945  hasil  amandemen  2002,  maka  Presiden dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya baik karena permintaan sendiri atau karena   tidak   dapat   melakukan   kewajibannya   maupun   diberhentikan   oleh   MPR.
Pemberhentian Presiden oleh MPR sebelum masa jabatan berakhir, hanya mungkin dilakukan jikalau Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penvuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (Pasal 7A).
Namun demikian perlu dipahami bahwa oleh karena Presiden tidak diangkat oleh MPR, maka Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. melainkan kepada rakyat Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar.

ii.    Hubungan Antara MPR Dan DPR

Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota. Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota-anggota. Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilu. Dengan  demikian  maka  seluruh  anggota.  MPR  menurut  UUD  1945  dipilih  melalui Pemilu.
Mengingat kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan rakyat tertinggi (Pasal 2 ayat (1)) dan untuk menegakkan martabat serta kewibawaannya, maka MPR menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat dasar, yang bersifat struktural dan memiliki kekuasaan untuk mengubah UUD, maka antara DPR dengan   MPR   harus   melakukan   kerjasama   yang   simultan   dalam   melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden.
Oleh karena anggota DPR seluruhnya merangkap angota MPR, maka MPR menggunakan DPR sebaoai tangan kanannya dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh Presiden sebagaimana ditetapkan oleh MPR.


Dalam  hal  ini  DPR  menggunakan  hak-hak  tertentu.  yang  dimilikinya  seperti  hak angket, hak amandemen, hak interpelasi, hak budget, hak tanya inisiatif (Pasal 20-A).


MPR  mempunyai  tugas  yang  sangat  luas,  melalui  wewenang  DPR,  MPR

mengemudikan  pembuatan  Undang-Undang  serta  peraturan-peraturan  lainnya  agar


undang-undang  serta  peraturan-peraturan  itu  sesuai  dengan  UUD  1945.  Melalui wewenang DPR ia juga menilai dan mengawasi wewenang lembaga-lembaga lainnya.


Demikianlah hubungan DPR dan MPR sebagai bagian yang diutamakan Maielis. terutama pasca amandemen UUD 1945 2002 ini diharapkan dengan adanya reformasi kelembagaan tinggi negara, benar-benar dapat tercipta iklim pelaksanaan negara yang lebih demokratis.

iii.  Hubungan Antara DPR Dan Presiden

Sebagai  sesama  lembaga  dan  sesama  anggota  badan  legislatif  maka DPR dan

Presiden bersama-sama mempunyai tugas antara lain:

i.  Membuat  Undang-Undang  (Pasal  5  ayat  (1),  20  dan  21).  dan  Menetapkan Undang-Undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 23 ayat (1)).
ii. Membuat    undang-undang    berarti   menentukan    kebijakan   politik   yang diselenggarakan oleh Presiden (Pemerintah).
iii. Menetapkan budget negara pada hakekatnya berarti menetapkan rencana kerja tahunan. DPR melalui anggaran belanja yang telah disetujui dan mengawasi Pemerintah dengan efektif. Di dalam, pekerjaan untuk membuat UU, maka Iembaga- lembaga negara lainnya dapat diminta pendapatnya.


Sesudah DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB negara maka di dalam  pelaksanaannya  DPR  berfungsi  sebagai  pengawas  terhadap  pemerintah. Pengawasan  DPR  terhadap  Presiden  adalah  suatu  konsekuensi  yang  wajar  (logis), yang pada hakikatnya mengandung arti bahwa presiden bertanggung jawab kepada DPR dalam arti partnership.


Presiden  tidak  dapat  dijatuhkan  oleh  DPR,  dan  dengan  pengawasan  tersebut, maka terdapat kewajiban bagi Pemerintah untuk selalu bermusyawarah dengan DPR tentang


masalah-masalah  pokok  dari  negara  yang  menyangkut  kepentingan  rakyat  dengan  UUD

sebagai landasan kerja.



Hal  ini  tetap  sesuai  dengan  penjelasan  resmi  UUD  1945  dinyatakan  bahwa Presiden harus tergantung kepada Dewan. Sebaliknya keduduk-an DPR adalah kuat, Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Presiden karena anggota-anggota DPR semuanya merangkap  menjadi  anggota-anggota  MPR,  maka  DPR  dapat  senantiasa  mengawasi segala tindakan-tindakan Presiden dan jikalau Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar pidana atau konstitusi yang telah, ma.ka Majelis itu dapat melakukan sidang istimewa untuk melakukan inpeachment.


Bentuk kerja sama antara DPR dan Presiden tidak boleh mengingkari partner legislatifnya. Presiden harus memperhatikan, mendengarkan, berkonsultasi dan dalam banyak hal, memberikan keterangan-keterangan serta laporan-laporan kepada Dewan dan meminta pendapatnva. Untuk pengawasan tersebut maka DPR mempunyai beberapa wewenang yaitu


a. Menurut UUD 1945.

1) Hak  budget,  yaitu  hak  untuk  menyusun  rancangan  Anggaran  Belanja  dan

Pendapatan Negara (Pasal 23 ayat (1)).

2) Hak inisiatif vaitu hak untuk mengusulkan rancangan uu (pasal 21 ayat (1))

b. Menurut UUD1945 hasil amandemen 2002 pasal 20-A ayat (2) dan
1) Hak amandemen (mengadakan perubahan)
2) Hak interpelasi (meminta kete-rangan)
3) Hak bertanya
4) Hak angket (hak untuk mengadakan suatu penyelidikan).
Dengan   adanya   wewenang   DPR   tersebut,   maka   sepanjang   tahun   teriadi musyawarah yang diatur antara pemerintah dan DPR, dan DPR menpunyai kesempatan untuk menemukakan pendapat rakvat secara kritis terhadap kebijaksanaan dan politik pemerintah.




Kritik-kritik itu dapat dilanjutkan dan dibahas oleh surat-surat kabar sebagai pembawa suara masyarakat yang langsung sehingga terjadilah suatu 'Sosial Control` yang baik terhadap pemerintah khususnya dan terhadap lembaga-lembaga negara lain pada umumnya.



iv.  Hubungan Antara DPR Dengan Menteri-Menteri

Hubungan kerjasama antara Presiden dengan DPR juga harus dilaksanakan dalam hal DPR menyatakan keberatannya terhadap kebijaksanaan menteri-menteri. Dalam hal ini sudah sewajarnya Presiden mengganti menteri yang bersangkutan tanpa membubarkan kabinet.


Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17 ayat (2)), sedangkan dalam penjelasannya dikemukakan bahwa menteri- menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR, artinya kedudukannya tidak tergantung kepada Dewan, akan tetapi tergantung kepada Presiden.


Penafsiran tentang kedudukannya menteri-menteri itu tidak bisa dilepaskan dari penafsiran tentang kedudukan Presiden yang juga dalam penjelasan UUD, 1945, dalam pasal tentang kementerian negara (Pasal 17) diterangkan bahvva Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR (sistem Kabinet Presidensial)


Seperti juga halnya dengan Presiden, menteri-menteri ti dak dapat dij atuhkan dan/atau  diberhentikan oleh DPR, akan tetapi sebagai konsekuensinya yang waiar (logis) dari tugas clan kedudukannya, ditambah pula ketentuan dalam penjelasan yang mengatakan bahwa Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Oleh karena itu menteri- menten pun juga tidak terlepas dari keberatan-keberatan DPR, yang berakibat diberhentikannya menteri oleh Presiden.


Sudah terang bahwa DPR tidak boleh main mosi tidak percaya, melainkan secara serius harus memberikan pertimbangan kepada Presiden dan sebaiknva Presiden tidak boleh


bersitegang  tidak  mau  memperhatikan  suara  DPR  yang  telah  diberikannya  dengan  tulus ikhlas, maka sebagai jalan keluar MPR harus segera memberikan keputusannya,-dan terhadap MPR itu Presiden secara imperatif harus melaksanakannya, terutama berdasar Pasal 3 ayat (3).

v.    Hubungan Antara Presiden dengan Menteri-Menteri

Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat (2)) dan menteri-menteri itu secara formal tidak bertanggung jawab kepada DPR. akan tetapi tergantung kepada Presiden. Menteri adalah pembantu Presiden (Pasal 17 ayat (3)). Meskipun kedudukan Para menteri tergantung.kepada Presiden, mereka bukan pegawai tinggi  biasa,  oleh  karena  itu menteri-menterilah  yang terutama  menjalankan  pemerintahan dalam praktekm a, sebagai pemimpin departemen (Pasal 17 ayat (3)). menteri mengetahui seluk-beluk mengenai lingkungan pekerjaannya.

Berhubungan dengan itu mcnteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menuntun politik negara yang menyangkut departemennya. Memang yang dimaksudkan adalah bahwa para menteri itu peminpin-pemimpin negara. Untuk menetapkan politik pemerintah dan koordinasi dalam pemerintah negara, para menteri bekerjasama satu sama lain secara erat di bawah pimpinan Presiden
Dalam praktek Pernerintahan, timbul kebiasaan bahwa Presiden melimpahkan sebagi-an wewenang kepada pembantu pimpinan dari Presiden Konvensi yang demikian ini tidak boleh mengurangi jiwa dari sistem kabinet Presidensial.

vi.     Hubungan Antara Mahkamah Agung Dengan Lembaga Negara Lainnya.

Dalam  Pasal  24  ayat  (1)  UUD  1945  disebutkan  bahwa  kekuasaan  kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut susunan dan kekuasaan   Badan-Badan   Kehakiman   tersebut   diatur   menetapkan   hubungan   antara Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga lainnya. Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan   bahwa   kekuasaan   kehakiman   adalah   kekuasaan   pemerintah   ataupun kekuasaan serta kekuatan lainnya! Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam bentuk UUD 1945 tentang kedudukan para hakim, sebagai syarat mencapai suatu keputusan yang seadil-adilnya.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum yang berdasarkan  Pancasila.  Berhubung  dengan  itu  kekuasaan  kehakiman  adalah  kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna meneoakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Ketentuan im menunjukkan bahwa di negara Indonesia dijamin perlindungan hak-hak  asasi  manusia  dan  bukan  kemauan  seseorang  yang  menjadi  dasar  tindakan penguasa (Govemment by law, not by man). Sifat negara hukum ini rnengandung makna bahwa alat-alat perlengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan- aturan  yang  telah  dibuat  oleh  badan  yang  dikuasakan  untuk  mengadakan peraturan- peraturan itu, atau singkatnya disebut dengan 'Rule of law' Undang-undang Pokok Kehakimain  (UU  No.  14  tahun  1970)  dalam  Pasal  5  sampai  dengan  Pasal  8 menjamin hak-hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan. berhubungan dengan itu pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang,tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan baginya oleh  undang-undang.  Demikian  juga  tiada  scoarano  juapun  dapat  dijatuhi  pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat penbuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Selain itu tidda seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pesitaan, selain atas printah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal clan menurut cara-cara yang  diatur  dengan  undang- undang. Setiap orang yang disangkakan, ditangkap. ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum kekuatan hukum yang tetap asas (persumfion innocence).

Semua pengadilan memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara lain apabila diminta.


Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara dalam bidang kehakiman dari tingkat yang lebih tinggi, berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundangan dari tinokat .yang .lebih tinggi. Putusan tentang tidak sah peraturan penmdang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan perundangan yang dinyatakan tidak sah tcrsebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. Ketentuan ini mengatur tentang hak menguji dari Mahkamah Agung,  yang mengandung  makna,bahwa  mahkamah  Agung  berhak  untuk  menguji  secara material peraturan yang lebih rcndah tingkatnya dari undang- undang mengenal sah tidaknya
dengan ketentuan perundang-undangam yang lebih tinggi.

Dalam  proses  reformasi  dewasa  ini  Mahkamah  Agung merupakan  ujung  tombak terutama  mernberantas KKN untuk rnewujudkan pemerintahan yang hersih sebagaimana diamanatkan oleh Tap No. XI/MPR/1998. Mahkamah Agung harus bebas dari pengaruh kekuasaan ataupun lainnya.

vii.   Hubungan Antara BPK Dengan DPR

Badan Pemcriksa Keuangan (BPK) bertugas memeriksa tentang  keuangan  negara dan  hasil  perneriksaannya  itu  diberitahukan  kepada  DPR.  Dewan Perwakilan Daerah daerah DPRD (Pasal 23-E ayat (2)) untuk mengikuti dan menilai kebijakan ekonomis financial pemerintah yang dijalankan oleh aparatur administrasi negara yang dipimpin oleh pemerintah.

Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menegaskan, bahwa BPK adalah lembaga tinggi negara yang dalam pelaksanaan terlepas dari pengaruh oleh kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. BPK bertugas untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sehubungan dengan pcnuaian tugasnya BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi Pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang.


Pembentukan BPK sesungguhnya memperkuat pelaksanaan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya, oleh karena, pegaturan kebijaksanaan dan arah keuangan negara yang dilakukan DPR saja belum dapat dikatakan cukup. Tidak kalah pentingnya adalah mengawasi apakah kebijaksanaan dan arah tersebut dilaksanakan pemerintah dengan sebaik-baiknya menurut tujuan  semula,  secara  tertib.  Jadi BPK bertugas memeriksa pertanggungjawaban pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa semua pelaksanaan APBN yang hasil pemeriksanaannya diberitahukan kepada DPR. Dewan Perwakilan Daerah dan DPRD.


Selain pelaksanaan APBN, diperiksa pula Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Anggaran Perusahaan-perusahaan milik negara dan lain-lain. Hasil pemeriksaan BPK inipun disertai sanksi pidana, apabila hasil pemeriksaan mengungkapkan sangkaan terjadinya tindakan-tindakan pidana, atau perbuatan yang merugikan negara, maka masalahnya diberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaaan. Ditinjau dari segi ini maka hasil pemeriksaan BPK merupakan upaya yang menjamin terbinanya aparatur pemerintahan dan aparatur perekonomian negara yang bersih clan sehat.

'                                      ' Keanggotaan  BPK  itu  tidak  mewakili  suatu  golongan  dan  manapun  juga  asal
anggotanya. Kedudukannya bebas dan terlepas dari pengaruh pemerintah. Hal itu diperlukan untuk menjamin agar BPK dapat bekerja secara objektif. Sudah selayaknya sebagai sesama Lembaga Negara, antara BPK, DPR dan Pemerintah terjalin kerjasama yang sebaik-baiknya. Namun kerjasama yang baik itu tidaklah berarti saling  melindungi  atau saling menutupi kekurangan masing-masing.
Barang siapa sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan keterangan yang diminta BPK dengan jalan menolak atau menghindarkan diri untuk memberikan keterangan, dapat dikenakan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan.
PENUTUP
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah konstitusi negara Republik Indonesia yang disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang  pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang merubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

SOAL LATIHAN
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
1. Jelaskan pengertian konstitusi negara!
2. Jelaskan konstusi sebagai landasan politik dan strategi nasional Indonesia!
3. Jelaskan Amandemen/perubahan UUD 1945 dan Dinamika Pelaksanaan UUD 1945!
4. Jelaskan sistem Kelembagaan dan hubungan antar lembaga Negara Kesatuan RI!
DAFTAR BACAAN
Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Pen. Departemen Penerangan R.I., Jakarta,
1962.
R.H. Purnomo. Pengimplementasian UUD’45, Pen, Seko ABRI, Bandung. 1982. CST. Kansil, Pancasila dan UUD'45 (I, II, III) Pen. Paramitha Pradnya. Jakarta, 1973.
-----------------Sistem Pemerintahan Indonesia. Pen. Bursa Buku FH-UI. Jakarta. 1973. JCT. Simorangkir. Tentang dan Sekitar UUD’45, Pen, Jambatan, Jakarta, 1970.
S.  Gunawan.  Hak-hak  Asasi  Manusia  Berdasarkan  Idiologi  Pancasila.  Pen.  Kanisius. Yogyakarta. 1993.
M. Hutauruk. Hak-hak dan Kewajiban Warga Negara. Pen. Erlangga.  Jakarta. 1968.
Dra. Elly M. Setiadi, M.Si. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi.
Pen. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta. 2005.
Drs. Kaelan, M.Si. Pendidikan Pancasila. Pen. Pradnya Paramitha. Yogyakarta. 2003.
Drs. Kaelan, M.Si. Kajian tentang UUD’ Negara R.I. (hasil Amandemen disahkan tanggal 16
Agustus 2002) (Anallsis Filosofis & Yuridis). Pen. Pradnya Paramitha. Yogyakarta. 2002.
Tim   Dosen   Pancasila   Unhas.Pendidikan   Pancasila   Perguruan   Tinggi.   Universitas
Hasanuddin,Makassar,2003
Tim Dosen Pancasila Unhas.Pendidikan Pancasila Bunga Rampai .STIMIK DIPANEGARA
,Makassar,2004