Pembukaan UUD1945
-
Makna
alinea-alinea dari pembukaan UUD 1945
-
Pokok-pokok
pikiran dalam UUD 1945
Pengertian, kedudukan, sifat dan fungsi UUD 1945
-
Pengertian
hukum dasar
-
Kedudukan
UUD 1945
-
Sifat
UUD 1945
-
Amandemen
UUD 1945
Pemilu
-
Sistem
Pemilu
-
Sifat
Pemilu
-
Pelaksanaan
Pemilu
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia
-
Kelembagaan
Negara
-
Fungsi
dan Tugas lembaga-lembaga negara
Dinamika pelaksanaan UUD 1945
-
Masa
orde lama
-
Masa
orde baru
-
Masa
reformasi
Konstitusionalisme
Dan Konstitusi
A.
Hakikat,
Tujuan, dan Fungsi Konstitusi
Hakikat Konstitusi
Setiap
negara modern dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem pengaturan yang
dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme mengacu
pada pengertian sistem institusionalisasi secara efektif dan terhadap suatu
pelaksanaan pemeritahan. Dengan lain perkataan menurut Hamilton untuk
menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan pengaturan sedemikian rupa,
sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan
dikendalikan. (H. Kaelan dan Ahmad Zubaidi, 2007). Pembatasan dan pengendalian
tersebut hanya dapat dilakukan melalui konstitusi.
Istilah
konstitusi dari sudut sejarah telah lama dikenal yaitu sejak zaman Yunani Kuno.
Diduga Konstitusi Athena (abad 425 S.M.) merupakan konstitusi pertama yang ada
di dunia dan dipandang sebagai alat demokrasi yang sempuna. Hal ini dikarenakan
bahwa pemahaman orang tentang konstitusi sejalan pemikiran orang-orang Yunani
Kuno tentang negara. Hal ini dapat diketahui dari paham Socrates yang telah
dikembangkan oleh muridnya Plato, dalam bukunya politea atau negara yang memuat
ajaran-ajaran Plato tentang negara dan hukum, dan bukunya Nomoi atau
undang-undang. Dalam masyarakat Yunani kuno dikatakan bahwa politea diartikan
sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang biasa. Perbedaan dari
istilah tersebut adalah politea mengandung kekuasaan lebih tinggi daripada
nomoi, karena mempunyai kekuataan membentuk agar tidak bercerai berai. Dalam
kebudayaan Yunani, istilah konstitusi berhubungan erat engan ucapan respublica
constitiere, sehingga lahirlah semboyan yang berbunyi pricep legibus solutus
est, salus publica suprema lex, yang berarti rajalah yang berhak menentukan
organisasi/struktur daripada negara, oleh karena itu raja adalah satu-satunya
pembuat undang-undang. Dengan demikian, istilah konstitusi pada zaman Yunani
Kuno diartikan hanya sebatas materiil saja karena konstitusi pada saat itu
belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis (Trianto dan Titik Triwulan,
2007).
Berkaitan
dengan istilah konstitusi, Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa Istilah
konstitusi berasal dari kata kerja constitutuer (Prancis) yang berarti
membentuk, yaitu membentuk suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung
pengertian permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan
demikian suatu konstitusi memuat peraturan pokok (fundamental) mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yaitu negara (Trianto dan
Titik Triwulan, 2007).
Menurut
Sri Sumantri : Istilah konstitusi berasal dari perkataan constitution, yang
dalam bahasa Indonesia dijumpai istilah hukum yang lain, yaitu undang-undang
dasar dan atau hukum dasar. Dalam perkembangannnya istilah konstitusi mempunyai
dua pengertian yaitu pengertian yang luas dan pengertian yang sempit (Trianto
dan Titik Triwulan, 2007). Sedangkan Moh. Kusnardi dan Harmaili Ibrahim
berpendapat bahwa : Konstitusi yang berasal dari istilah constitution (Bahasa
Inggris dan Prancis) atau verfasung (Belanda) memiliki perbedaan dari
undang-undang dasar atau goundgesetz. Jika ada kesamaan, itu merupakan
kekhilafan pandangan dinegara-negara modern, yang disebabkan oleh pengaruh
paham kodifi kasi yang menghendaki setiap peraturan harus tertulis, demi
mencapai kesatuan hukum dan kepastian hukum. Berangkat dari pendapat para ahli
di atas tentang konstitusi, maka dapat kita lihat bahwa istilah konstitusi ini
terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat bahwa konstitusi sama dengan
undang-undang dasar dan ada yang berpendapat konstitusi tidak sama dengan
undang-undang dasar. Penyamaan arti konstitusi dan UUD inilah yang sesuai
dengan praktik ketatanegaraan di Indonesia.
Terlapas
dari pandangan dua kelompok di atas, istilah konstitusi dalam perkembangannya
mempunyai dua pengertian yaitu : pertama, dalam pengertian yang luas,
konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar
baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya; kedua,
dalam pengerian sempit, konstitusi berarti piagam dasar atau undang-undang
dasar ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.
Dalam
terminologi hukum Islam, istilah konstitusi dikenal dengan sebutan dustur, yang
berarti kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerjasama antar sesama
anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis maupun yang
tidak tertulis. Dalam perkembangannya ada beberapa pendapat yang membedakan
antara konstitusi dengan Undang-undang dasar, seperti Herman Heller (dalam A.
Ubaidillah, 2006) berpandangan bahwa konstitusi lebih luas daripada
undang-undang dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis melainkan juga
bersifat sosiologis dan politis, sedangkan undang-undang dasar hanya merupakan
sebagian dari pengertian konstitusi yakni konstitusi tertulis. Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh F. Laselle (dalam A. Ubaidillah, dkk., 2006: 63)
yang membagi pengertian konstitusi menjadi dua.
1. Sosiologis
dan yuridis yaitu sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat
(hubungan antara kekuasaan-kekuasaan dalam suatu negara), seperti raja,
parlemen, kabinet, partai politik, dan lain-lain).
2. Yuridis
ialah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan.
Berbeda
halnya dengan C.F Strong yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar,
ia mendefi nisikan konstitusi sebagi suatu kerangka masyarakat politik (negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan kata lain konstitusi dapat
pula dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan
pemerintahan, hak-hak yang diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya.
Dengan demikian hakikat dari konstitusi adalah suatu kumpulan kaidah yang
memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa yang berbentuk
suatu dokumen tentang pembagian tugas sekaligus petugasnya dari suatu sistem
politik dan juga berisi hak-hak asasi manusia (Ubaidillah, dkk., 2006: 64).
Tujuan dan Fungsi Konstitusi
Secara
garis besar, tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenangwenang
pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, menetapkan pelaksanaan
kekuasaan yang berdaulat. Menurut Bagir Manan (2005), hakikat tujuan konstitusi
merupakan perwujudan paham tentang konstitusi atau konstitusionalisme yaitu
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap
hak-hak warga negara maupun setiap penduduk dipihak lain.
Sedangkan
fungsi konstitusi adalah sebagai sarana dasar untuk mengawasi proses-proses
kekuasaan atau bisa juga befungsi sebagai dokumen nasional dan alat untuk
membentuk sistem politik dan sistem hukum negara. Karena itu ruang lingkup isi
undang-undang dasar sebagai konstitusi tertulis sebagaimana dinyatakan oleh
Struycken memuat tentang:
a) hasil
perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
b) tingkat-tingkat
tertinggi perkembanganketatanegaraan bangsa;
c) pandangan
tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang
akan datang;
d) suatu
keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin (Ubaidillah, dkk., 2006: 64)
.
B.
Nilai-Nilai
yang Terkandung dalam Konstitusi
Dalam
praktik ketatanegaraan, seringkali sebuah konstitusi yang tertulis tidak dapat
berlaku atau berjalan sesuai yang dikehendaki, hal ini disebabkan karena salah
satu atau beberapa isi dari konstitusi tidak dijalankan oleh penguasa atau
sekelompok golongan penguasa. Sehubungan dengan hal itu, Karl Loewenstein
mengadakan penyelidikan mengenai arti konstitusi tertulis dalam suatu
lingkungan nasional, Hasil penyelidikannya menyimpulkan adanya 3 (tiga) nilai
suatu konstitusi (Trianto dan Titik Triwulan, 2007).
Nilai Normatif
Nilai
normatif diperoleh apabila penerimaan segenap rakyat suatu negara terhadap
konstitusi benar-benar secara murni dan konsekuen. Konstitusi ditata dan
dijunjung tinggi tanpa adanya penyelewengan sedikit pun. Dengan kata lain bahwa
konstitusi telah dapat dilaksanakan sesuai dengan isi dan jiwanya baik dalam
produk hukum maupun dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah.
Nilai Nominal
Nilai
nominal diperoleh apabila ada kenyataan sama dalam batas-batas berlakunya. Nilai
yang terkait dengan batas-batas berlakunya itulah yang dimaksudkan dengan nilai
nominal konstitusi. Contoh ketentuan pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum
amandemen dinyatakan tidak berlaku lagi karena Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tugasnya hanya dalam masa peralihan dan badan itu sendiri
tidak berlaku lagi sekarang. Meskipun ketentuan itu tidak dicabut tidak berarti
masih berlaku secara efektif.
Nilai Semantik
Dalam
hal ini konstitusi hanya sekedar istilah saja. Meskipun secara hukum konstitusi
tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk
dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik,
pelaksanaannya selalu dikaitkan denan kepentingan pihak yang berkuasa (dalam
arti negatif).
C.
Klasifikasi
atau Pembagian Konstitusi
Menurut
K. C Wheare (dalam Ubaidillah, dkk., 2006), pada intinya konstitusi dapat
diklasifi kasikan menjadi lima kategori berikut.
Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis.
Konstitusi
tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang memiliki kesakralan khusus
dalam proses perumusannya. Konstitusi tertulis merupakan suatu instrument yang
oleh para penyususunnya disusun untuk segala kemungkinan yang dirasa terjadi
dalam pelaksanaannya. Pada kasus lain, konstitusi tertulis dijumpai pada
sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi
dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi proses
undang-undang biasa mengembangkan konstitusi itu dalam aturan-aturan yang sudah
disiapkan. Sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih
berkembang atas dasar adat istiadat daripada hukum tertulis. Konstitusi tidak
tertulis dalam perumusannya tidak membutuhkan proses yang panjang, misalnya
penentuan quarum, model perubahan (amandemen atau pembaruan) dan prosedur
perubahannya.
Konstitusi Fleksible dan Konstitusi Kaku.
Konstitusi
yang dapat diubah atau diamandemen tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan
sebagai konstitusi fleksibel. Sebaliknya konstitusi yang mensyaratkan prosedur
khusus untuk perubahan atau amandemennya adalah konstitusi kaku. Menurut James
Bryce, terdapat ciri-ciri khusus pada konstitusi fleksibel yaitu:
a) elastis,
b) diumumkan
dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang.
Sedangkan
konstitusi kaku memiliki kekhususan sendiri yaitu :
a) mempunyai
kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang
lain,
b) hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang
berat.
Konstitusi Derajat Tinggi dan Tidak Derajat Tinggi
Konstitusi
derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam
negara. Jika dilihat dari segi bentuknya, konstitusi ini berada di atas
peraturan perundang-undangan yang lain. Demikian juga syarat-syarat untuk
mengubahnya sangatlah berat. Sedangkan konstitusi tidak sederajat ialah suatu
konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan. Persyaratan yang diperlukan untuk
mengubah konstitusi ini sama dengan persyaratan yang diperlukan untuk mengubah
peraturan-peraturan yang lain setingkat undang-undang.
Konstitusi Seri dan Konstitusi Kesatuan
Bentuk
ini berkaitan dengan bentuk suatu negara, jika bentuk suatu negara itu serikat,
maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara
serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur
dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan ini tidak dijumpai,
karena seluruh kekuasaan terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur
dalam konstitusi.
Konstitusi Sistem Parlementer dan Konstitusi
Presidensial
Bentuk
ini berkaitan dengan bentuk suatu negara, jika bentuk suatu negara itu serikat,
maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara
serikat dengan pemerintah negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur
dalam konstitusi. Dalam negara kesatuan pembagian kekuasaan ini tidak dijumpai,
karena seluruh kekuasaan terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur
dalam konstitusi.
D.
Sejarah
Konstitusi di Indonesia dan Perubahannya
Dalam
sistem ketatanegaraan modern dewasa ini, terdapat 2 (dua) model perubahan
konstitusi yaitu: pertama, melalui renewel adalah sistem perubahan konstitusi
dengan model perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan
adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan; kedua, melalui amandeman adalah
perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi dirubah konstitusi yang asli
tetap berlaku. Dengan kata lain, perubahan pada model amandemen tidak terjadi
secara keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil amandemen
tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyertai konstitusi awal.
Berkaitan
dengan perubahan konstitusi di atas, menurut Miriam Budiarjo (A. Ubaidillah,
dkk., 2006: 72) ada 4 (empat) macam prosedur dalam perubahan konstitusi baik
dalam model renewel maupun amandemen yaitu :
i.
sidang badan legislatif
dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat diterapkan quorum untuk
disidang yang membicarakan usul perubahanundang-undang dasar dan jumlah minimum
anggota badan legislatif untuk menerimanya;
ii.
referendum (pengambilan
keputusan dengan cara menerima atau menolak usulan perubahan undang-undang);
iii.
negara-negara bagian
dalam negara federal (misal negara Amerika Serikat : ¾ % dari 50 negara bagian
harus menyetujui;
iv.
perubahan yang dilakukan
dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang dibentuk
hanya untuk keperluan perubahan.
Perubahan
konstitusi merupakan suatu keharusan dalam sistem ketatanegaraan suatu negara,
karena bagaimanapun konstitusi haruslah sesuai dengan realita kondisi bangsa
dan warganegaranya. Dengan kata lain sifat dinamis suatu bangsa dapat terlihat
dari adanya sebuah perubahan peradaban yang dapat diakomodasi dalam konstitusi
negara tersebut. Indonesia sebagai negara hukum, memiliki konstitusi saat ini
adalah UUD 1945. Dalam perjalanan sejarahnya, konstitusi Indonesia telah
mengalami beberapa pergantian maupun perubahan,baik nama maupun
substansinya,(Ubaidillah, dkk., 2006: 74).
1. Undang-Undang
Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus1945 sampai 27 Desember 1949.
2. Konstitusi
Republik Indonesia Serikat yang lazim dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS
dengan masa berlakunya sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950.
3. Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang masa berlakunya sejak 17
Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4. Undang-Undang
Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia
berlaku mulai 5 Juli 1959 sampai 19 Oktober1999.
5. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999 sampai 18 Agustus 2000).
6. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I dan II ( 18 Agustus 2000 sampai 9 Nopember 2000).
7. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I, II dan III (9 Nopember 2000 sampai 10 Agustus
2002).
8. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I, II, III dan IV (10 Agustus 2002 sampai sekarang).
Dilakukannya
amandemen terhadap UUD 1945 karena ruh dan pelaksanaan konstitusi jauh dari
paham konstitusi itu sendiri yang oleh Adnan Buyung Nasution (dalam Ubaidillah,
dkk., 2006) dinyatakan bahwa pemerintahan yang konstitusional itu bukanlah
pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan
pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut
esensi-esensi konstitusionalisme. Dengan adanya amandemen UUD 1945 maka secara
langsung lembaga kenegaraan di Indonesia mengalami perubahan pula. Secara umum
sistem kenegaraan di negara modern dewasa ini mengikuti pola pembagian
kekuasaan dalam pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesqiue
dengan teorinya yaitu Trias Politica. Menurutnya, dalam setiap pemerintahan
terdaat 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu : legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Ketiga kekuasaan tersebut terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas
maupiun alat perlengkapan yang melakukannya. Indonesia dalam sistem
ketatanegaraannya menganut teori Trias Politicanya Montesqiue, hanya dalam
pelakanaannya, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terpisah namun terapat
pembagian kekuasan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dalam
perjalanannya, sistem ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang
sangat mendasar terutama sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR
hingga 4 (empat) kali perubahan. Perubahan tersebut oleh Mahfud MD dilatar belakangi
:
i.
Kehendak untuk
membangun pemerintahan yang demokratis dengan sistem chek and balance yang seimbang
dan setara diantara pemegang kekuasaan;
ii.
Mewujudkan supremasi
hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia;
iii.
Adanya pasal-pasal yan
multi tafsir;
iv.
Terlalu banyaknya
atribusi kewenangan (Mahfud MD, 2003).
Menurut
Ubaidillah (2006), hasil amandemen yang berkaitan dengan kelembagaan negara
dengan jelas dapat dilihat pada perubahan pertama UUD 1945 yang memuat
pengendalian kekuasaan presiden, tugas serta wewenang DPR dan presiden alam hal
pembentukan UU. Perubahan kedua UUD 1945 berfokus pada penataan ulang
keanggotaan, fungsi, hak maupun cara pengisiannya. Perubahan ketiga UUD 1945
menitikberatkan pada penataan ulang kedudukan dan kekuasaan MPR, jabatan
presiden yang berkaitan dengan tatacara pemilihan presiden dan wakil presiden
secara langsung, pembentukan lembaga negarabaru yang meliputi Mahkamah
Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Yudisial serta aturan tambahan
untuk Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan perubahan keempat mencakupmateri tentang
keanggotaan MPR, pemilihan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap serta
kewenangan presiden. Lebih rinci, oleh Ubaidillah menjelaskan reformasi
ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan dijelaskan
sebagai berikut.
Lembaga Legislatif
Dalam
ketatanegaraan Indonesia, lembaga legislatif dipresentasikan pada 3 (tiga)
lembaga, yakni DPR, DPD dan MPR. Dari ketiga lembaga tersebut posisi MPR
merupakan lembaga yang bersifat khas Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Repbulik Indonesia yang
merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Dalam
menjalankan fungsinya, anggota DPR memiliki hak interpelasi (hak meminta
keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang berdampakpada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara), hak angket (hak untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga bertetangan dengan peratran
perundang-undangan), dan hak menyatakan pendapat. Di luar institusi, anggota
DPR juga memiliki hak mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pedapat, membela diri, hak imunitas dan hak protokoler. Sedangkan DPD
merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan
perubahan ketiga UUD 1945, gagasan pembentukan DPD adalah dalam rangka
restrukturisasi parlemen di Indonesia menjadi dua kamar. Dengan demikian
resmilah pengertian Dewan perwakilan di Indonesia mencakup DPR dan DPD, yang
kedua-duanya secara bersama-sama disebut MPR.
Perbedaan
keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakili masing-masing. DPR
dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili
daerah-daerah. DPD adalah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang
merupakan wakil-wakil propinsi dan dipilih melalui pemilihan umum yang memiliki
fungsi :
a) pengajuan
usul, ikut dalam pembahasan an memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan
bidang legislasi tertentu;
b) pengawasan
atau pelaksanaan undang-undangtertentu.
Sedangkan
DPR mempunyai tugas dan wewenang :
a) Membentukundang-undang
yang dibahas dengan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama;
b) Membahas
dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c) Menerima
dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu
dan mengikutsertakannya dalam pembahasan;
d) Menetapkan
APBN bersamapresiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
e) Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN serta kebijakan pemerintah;
f) Membahas
dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara
yang disampaikan oleh BPK)
.
Lembaga Eksekutif
Dalam
ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana pada UUD 1945 bahwa kekuasaan eksekutf
dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden yang dalam menjalankan
kewajiban negara, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UUD 1945,
presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menurut perubahan keiga UUD 1945
Pasal 6A, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat, sedangkan sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil
presiden dipilih oleh MPR. Dengan adanya perubahan (amandemen) UUD 1945,
presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR dan kedudukan antara MPR dan
presiden adalah setara.
Lembaga Yudikatif
Sesuai
dengan prinsip pemisahan kekuasaan maka fungsi-fungsi legislatif, ekseutif dan
yudikatif dikembangkan sebagai pembagian kekuasaan yang terpisah satu sama
lainnya. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada MPR yang terdiri dari dua
kamar yakni DPD dan DPR, maka kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan
kehakiman yang juga dipahami mempunyai 2 (dua) pintu, yakni Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Amandemen
UUD 1945 telah membawa perubahan kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan
kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh :
i.
Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada dibaahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama,
militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
ii.
Mahkamah Konstitusi. Di
samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekasaan kehakiman,
UUD
1945 yang telah diamandemen juga mengintrodksi suatu lembaga baru yang bekaitan
dengan penyelenggaraan kekuasaa kehakiman yaitu komisi yudisial. Komisi
yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat
serta prilaku hakim.
Mahkamah
Agung adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia, dan sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah :
a) Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
b) Mengajukan
3 orang anggota hakim konstitusi;
c) Memberikan
pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
Sedangkan
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan oleh perubahan
ketiga UUD 1945, yang mempunyai kewajiban dan kewenangan adalah sebagai berikut
:
a) Berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran partai politik dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan
umum;
b) Memberi
putusan atas penapat DPRmengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau
wakil presiden menurut UUD 1945.
E.
Konstitusi
Sebagai Pengatur Kehidupan Kenegaraan yang Demokratis
Konstitusi
merupakan sarana bagi terciptanya kehdupan kenegaraan yang demokratis bagi
seluruh warga negara. Hal ini dikarenakan bila negara mempunyai konstitiusi
yang demokratis, maka konstitusi yang demokratis tersebut dapat dijadikan
aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara tersebut. Jika
konstitusi dipahami sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka konstitusi memiliki kaitan yang cukup erat dengan penyelenggaraan
pemerintahan dalam sebuah negara. Dengan demikian konstitusi merupakan media
bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan
kata lain, negara yang memilih demokrasi sebagai pilihannya, maka konstitusi
demkratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara
tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula.
Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi perlu
dikawal agar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka
partisipasi warga negara perlu ditetapkan di dalam kosntitusi untuk ikut
berpartisipasi dan mengawal proses demokratisasi pada sebuah bangsa.
Karena
konstitusi menjadi piranti yang sangat penting bagi sebuah negara demokrasi,
yang selanjutnya secara langsung konstitusi menjadi daya ikat yang berarti bagi
penyelenggara negara dan warga negara bagi terbentuknya negara demokrasi, maka setiap
konstitusi yang digolongkan sebagai
konstitusi
yang demokratis haruslah memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri,
yang terdiri atas :
1. menempatkan
warga negara sebagai sumber utama kedaulatan;
2. mayoritas
berkuasa dan terjaminnya hak minoritas;
3. adanya
jaminan pengharaan terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara.
4. pembaasan
pemerintahan;
5. adanya
jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan umum yang
bebas;
6. adanya
jaminan berlakunya hukm dan keadilan melalui proses peradilan yang independen,
dan
7. adanya
pembatasan dan pembagian kekuasaan negara.
Konstitutionalisme,
adalah sebuah paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat
melalui konstitusi. Dalam pengertian yang jauh lebih luas jangkauannya, menurut
Soetandyo, ide konstitusi disebutnya sebagai konstitutionalisme, dan
digambarkan bahwa paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan
dan hak – yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan
yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus
dibilang sebagai kesewenang-wenangan) – inilah yang di dalam konsep moral dan
metayuridisnya disebut “konstitutionalisme”.
Paham
ini mengantarkan perdebatan awal dalam sistem ketatanegaraan yang diatur dalam
teks hukum dasar sebuah negara, atau disebut kontitusi. Konstitusi sebagai
pengertian sosial politik. political decision. Bangunan-bangunan yang ada dalam
masyarakat tersebut sebagai hasil keputusan masyarakat itu sendiri.
Konstitusi
sebagai pengertian hukum, dalam pengertian ini keputusan-keputusan masyarakat
dijadikan perumusan yang normative, yang kemudian harus berlaku. Contoh: aliran
kodifikasi, yaitu yang menghendaki sebagaian hukum ditulis dengan maksud untuk
mencapai kesatuan hukum,
kesederhanaan hukum, dan
kepastian hukum. Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum
Pengertian
ini adalah suatu peraturan hukum yang tertulis. Dengan demikian Undang-undang
dasar adalah salah satu bagian dari konstitusi. Kutipan pikiran Rousseau di
atas, telah mengilhami lahirnya De Declaration des Droit de l’Homme et du
Citoyen, dan pembentukan Konstitusi Perancis (1791), serta cikal bakal lahirnya
berbagai konstitusi modern di dunia
F.
Pengertian
Hukum Dasar Negara
Setiap
negara berdaulat memiliki instrument menjelaskan eksistensi sebuah negara.
Salah satunya adalah
Undang-Undang Dasar atau
konstitusi negara. Ada
dua macam hukum dasar, yaitu
hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar) dan hukum dasar tidak tertulis
(Konvensi).
1.
Hukum
Dasar Tertulis (Undang-Undang Dasar)
E.C.S. Wade dalam bukunya
Constitutional Law mengatakan bahwa secara umum undang-undang dasar adalah
suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan cara kerja badan- badan tersebut. Jadi
pada prinsipnya mekanisme dan dasar setiap sistem pemerintahan diatur dalam
undang-undang dasar. Bagi mereka yang menganggap negara sebagai satu organisasi
kekuasaan, maka mereka dapat memandang undang-undang dasar sebagai sekumpulan
asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut dibagi antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif (Indonesia tidak menganut sistem Trias
Politika tersebut, tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan dengan lima
lembaga negara).
Undang-undang dasar menentukan
bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama
lain. Undang-undang dasar juga merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu
negara (Budiarjo, 1981: 95-96 ).
2.
Hukum
Dasar Tak Tertulis (Konvensi)
Konvensi
adalah hukum yang yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggara
negara secara tidak tertulis. Sifat-sifat konvensi adalah sebagai berikut:
a. Merupakan kekuasaan yang muncul berulang kali dan terpelihara dalam
praktek penyelenggaraan negara.
b. Tidak bertentangan dengan undang-undang
dasar dan berjalan sejajar. c. Dapat
diterima oleh seluruh rakyat.
d. Bersifat sebagai pelengkap yang tidak
terdapat di dalam undang-undang dasar.
Konvensi misalnya
terdapat pada praktek
penyelenggara negara yang
sudah menjadi hukum dasar yang tidak tertulis, seperti:
a. Pidato kenegaraan Republik Indonesia setiap
tanggal 16 Agustus di dalam sidang
Dewan
Perwakilan Rakyat.
b. Pidato
Presiden yang diucapkan
sebagai keterangan pemerintah
tentang RAPBN
pada
minggu pertama Januari setiap tahunnya.
c. Pidato
pertanggungjawaban Presiden dan
Ketua Lembaga Negara
lainnya dalam sidang Tahunan
MPR.(yang dimulai sejak tahun 2000).
d. Mekanisme pembuatan GBHN.
Keempat
hal tersebut secara tidak langsung merupakan realisasi UUD 1945 (merupakan
pelengkap). Yang berwenang mengubah konvensi menjadi rumusan yang bersifat
tertulis adalah MPR, dan rumusannya bukan berupa hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR.
3. Pengertian, Kedudukan, Sifat Dan Isi
Undang-Undang Dasar 1945
a. Pengertian UUD 1945
Sebelum
amandemen, yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan
naskah yang terdiri dari: (1) Pembukaan, yang terdiri dari 4 alinesa; (2)
Batang Tubuh UUD 1945, yang berisi Pasal 1 s/d 37 yang dikelompokkan dalam 16
bab, 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan; serta (3) Penjelasan
UUD 1945 yang terbagi atas penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Pembukaan, Batang Tubuh yang memuat pasal-pasal, dan Penjelasan UUD 1945
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak, dapat dipisah-pisahkan. Naskah
yang resmi telah dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II
No. 7 yang terbit pada tanggal 15 Februari 1946 sebuah penerbitan resmi
pemerintah Republik Indonesia. UUD 1945
telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan mulai berlaku
pada tanggal 18 Agustus 1945.
Namun
berdasarkan hasil Sidang Tahunan MPR 2002, sistematika UUD 1945 adalah
Pembukaan dan pasal-pasal yang terdiri dari 37 pasal, ditambah 3 pasal aturan:
peralihan dan 2 pasal aturan tambahan (Lihat Pasal 2 Aturan Tambahan UUD 1945
hasil amandemen keempat).
Yang
dimaksud dengan undang-undang dasar dalam UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis
yang bersifat mengikat
bagi pemerintah, lembaga
negara, lembaga masyarakat, dan
warga negara Indonesia
di mana pun
mereka berada, serta
setiap penduduk yang ada di wilayah Republik Indonesia. Sebagai hukum,
UUD 1945 berisi norma, aturan, atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan
ditaati.
b. Kedudukan UUD 1945
Undang-undang dasar
merupakan hukum dasar
yang menjadi sumber
hukum. Setiap produk hukum
seperti undang-undang, peraturan,
atau keputusan pemerintah. bahkan setiap kebijaksanaan
pemerintah harus berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi
dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUD 1945.
Dalam
kerangka tata susunan norma hukum yang berlaku, UUD 1945 merupakan hukum yang
menempati kedudukan tertinggi.
seperti telah dijelaskan,
UUD 1945 ditetapkan dan
dijelaskan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18
Agustus 1945. Dalam ayat (2) aturan tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa dalam 6
bulan sesudah MPR dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan, UUD. Aturan
tambahan ini menunjukkan bahwa status UUD 1945 adalah sementara. Sesungguhnya
rencana pembuat UUD 1945 adalah bahwa sebelum tanggal 17 Agustus 1946
undang-undang dasar tetap diharapkan dapat disusun oleh badan yang berwenang,
yaitu MPR hasil
Pemilu sebagaimana ditetapkan
dalam UUD 1945 itu
sendiri, tetapi suasana politik
waktu itu tidak memungkinkan realisasi rencana tersebut. Kini UUD 45 tidak
bersifat sementara lagi, karena telah ditetapkan oleh MPR menjadi konstitusi
tertulis. Namun UUD 45 tetap bersifat fleksibel.
c. Sifat UUD 1945
Dalam
Penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan bahwa UUD 1945 bersifat singkat
dan supel, yakni
hanya memuat 37
pasal, ditambah 4
pasal aturan peralihan dan 2 ayat
aturan tambahan. Setelah amandemen keempat (ST MPR 2002), sifat singkat dan
supel masih mewarnai UUD 1945 karena ia masih berisi hal-hal pokok dan masih
dimungkinkan untuk terus disesuaikan dengan perkembangan bangsa dan negara
Indonesia. UUD 1945 hasil amandemen terdiri atas 37 pasal ditambah 3 pasal
aturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.
Sifat undang-undang
yang singkat dan
supel itu juga
dikemukakan dalam
Penjelasan:
1. Undang-Undang Dasar itu sudah cukup apabila
telah memuat aturan-aturan pokok saja, hanya memuat garis-garis besar sebagai
instruksi kepada pemerintah pusat dan lain- lain penyelenggara negara untuk
menyelenggarakan kehidupan negara
dan kesejahteraan sosial.
2. UUD 1945 yang singkat dan supel itu lebih
baik bagi negara seperti Indonesia ini, yang masih harus
berkembang, harus terus
hidup secara dinamis,
masih terus akan mengalami perubahan-perubahan.
Dengan
aturan-aturan yang tertulis, yang hanya memuat aturan pokok, Undang- Undang
Dasar menjadi aturan yang luwes, supel, dan tidak ketinggalan zaman. Ini tidak berarti
bahwa UUD 1945 tidak lengkap atau tidak sempurna dan mengabaikan kepastian.
Keluasan atau fleksibilitas ini tetap menjamin kejelasan dan kepastian hukum
apabila aturan-aturan pokok itu menyerahkan pengaturan lebih lanjutnya kepada
aturan hukum dalam tingkat yang lebih
rendah, misalnya ketetapan
MPR dan undang-undang, yang pembuatan, pengubahan, dan pencabutannya
lebih mudah daripada UUD 1945.
Selain
itu, penjelasan UUD 1945 menekankan bahwa semangat penyelenggara negara, semangat
pemimpin pemerintahan sangat
penting. Karena itu, setiap penyelenggara negara dan pemimpin
pemerintahan selain harus mengetahui teks UUD1945 juga harus menghayati
semangatnya. Dengan semangat penyelenggara negara dan pemimpin pemerintahan
yang baik, pelaksanaan aturan-aturan pokok yang tertera dalam UUD 1945 akan
baik dan sesuai dengan maksud ketentuannya.
d. Isi Undang Undang Dasar 1945
Setelah
UUD 45 diamandemen 2002, maka tetap 16 bab walaupun Bab IV tentang
Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dihapus, namun jumlah babnya bertambah sebanyak
22
bab. Demikian pula pasalnya tetap 37 pasal dan 3 pasal Aturan Tambahan serta 2
pasal Aturan Tambahan, namun dari pasal-pasalnya dikembangkan dan ditambah
ayat-ayatnya, sehingga jumlah pasalnya sebanyak 72 pasal (lihat lampiran).
C. Amandemen/Perubahan UUD’45 Dan Dinamika
Pelaksanaan UUD’45 Sejak Awal
Kemerdekaan
Hingga Masa Reformasi
a. Proses Perubahan/Amandemen Undang Undang
Dasar 1945
Pasal
terakhir Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen juga memuat tentang perubahan
Undang-Undang Dasar, terutama mengingat agar Undang-Undang Dasar itu senantiasa
sesuai dengan perkembangan zaman dan aspirasi rakyat. Pasal 37, memuat 5
ayat berkaitan
dengan ketentuan tentang
perubahan Undang-Undang Dasar,
sebagai berikut:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, apabila
diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas
bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
(3)
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar,
Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
(4)
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima
puluh persen ditambah
satu dan seluruh anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(5) Khusus tentang bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Pasal
yang mengatur tentang perubahan Undang-Undang dasar ini ditentukan
berkaitan dengan pasal-pasal
Undang-Undang Dasar, jadi
bukan terhadap Pembukaan UUD 1945. Logikanya kalau hak itu
menyangkut Perubahan Pembukaan UUD 1945, hak itu sama
halnya mengubah seluruh
sistem negara yang
meliputi bentuk negara, sifat negara. Berketuhanan, tujuan negara dan
dasar negara Pancasila. mengingat Pembukaan sebagai deklarasi bangsa Indonesia
dan dalam ilmu hukun disebut sebagai ‘Stoatsfun damentainomy’, yang merupakan
sumber norma hukum positif Indonesia.
b.
Dinamika pelaksanaan UUD’45 sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi.
Sejarah
pelaksanaan UUD 1945 terbagi alas dua kurun waktu, yaitu masa kemerdekaan
(tahun 1945 s/d 27 Desember 1949) dan pada tahun 1959 sampai sekarang.
1. Masa Kemerdekaan (1945-1949)
Kurun
waktu ini adalah masa revolusi fisik karena bangsa Indonesia harus berjuang
kembali mempertahankan negara
dari rongrongan penjajah
yang tidak mau
mengakui
kemerdekaan
Indonesia. Pada masa ini juga terjadi penyimpangan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer, karena NKRI berubah menjadi negara RIS sesuai
dengan hasil sidang KMB. Namun keadaan ini tidak bertahan lama, karena pada
tanggal
17
Agustus 1950 negara RIS berubah menjadi NKRI dengan UUDS’50.
Tapi
ternyata pelaksanaan UUDS’50 itu tidak memuaskan rakyat dan stabilitas nasional
tidak dapat tercapai. Pada masa itu terjadi pergantian kabinet sebanyak, 7 kali
yaitu:
1) Kabinet Natsir (6-9-1950 s/d 27-4-1951)
2) Kabinet Sukirman (27-4-1951 s/d 3-4-1952)
3) Kabinet Wilopo (3-4-1952 s/d 1-8-1953)
4) Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1-8-1953 s/d
12-8-1955)
5) Kabinet Burhanudin Harahap, (12-8-1955 s/d
24-3-1956)
6) Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24-3-1956 s/d
9-4-1957)
7) Kabinet Juanda (9-4-1957 s/d 10-7-1959)
Karena seringnya
pergantian kabinet, konstituante
mengadakan sidang namun selalu gagal, sehingga Presiden
mengeluarkan Dekrit Presiden pad tanggal 5 Juli 1959.
2.
Masa Orde Lama (1959-1966)
1) Pengertian Orde Lama
Orde
lama mulai pada tanggal 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966 saat diserahkannya
Supersemar oleh Presiden kepada Letjen Soeharto. Di masa ini banyak terjadi
penyelewengan terhadap Pancasila,
misalnya Nasakom, pengangkatan Presiden seumur
hidup, dan pembubaran
DPR oleh Presiden.
Ciri-ciri Orde Lama
adalah sebagai berikut:
a) Mempunyai landasan idil Pancasila dan
landasan struktural UUD 1945. b)
Mempunyai tujuan:
i. Membentuk
NKRI yang berbentuk
kesatuan dan kebangsaan
yang demokratis.
ii. Membentuk suatu masyarakat yang adil dan
makmur baik materil maupun spiritual dalam wadah NKRI.
iii. Membentuk kerja sama yang baik dengan semua
negara di dunia, terutama dengan negara-negara di kawasan Asia-Afrika
iv. Melaksanakannya dengan meluruskan segala
cara.
2) Beberapa Penyimpangan Dalam Pelaksanaan Uud
1945
UUD
1945 pada masa ini tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Lembaga
negara seperti MPR, DPR, DPA dan BPK belum terbentuk sesuai UUD
1945,
jadi hanya bersifat sementara. Penyimpangan yang terjadi antara lain Presiden
membuat UU tanpa persetujuan DPR dan Presiden membubarkan DPR yang tidak
menyetujui APBN yang diajukannya. Presiden memegang kekuasaan sepenuhnya dan
kemudian MPR mengangkatnya sebagai Presiden seumur hidup. Keadaan tersebut
membuat stabilitas nasional makin memburuk. Berbagai ancaman datang silih
berganti. Puncak dari semua
itu adalah terjadinya
pemberontakan PKI pada
tanggal 30
September
1965. Dalam situasi ini Presiden Soekarno memberikan Surat perintah kepada
Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan pemulihan keadaan dan mengembalikan
stabilitas negara.
3. Masa Orde Baru
1) Pengertian Orde Baru
Orde
Baru lahir sejak diselenggarakannya seminar TNI/AD yang kedua di Seskoad
Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966. Ciri-ciri Orde Baru hampir sama
dengan Orde Lama, kecuali landasannya yang sedikit mengalami perubahan.
Landasan konstitusionalnya tetap UUD 1945, tetapi landasan strukturalnya adalah
kabinet Ampera sedangkan landasan operasionalnya adalah Tap MPR sejak sidang
umum ke IV tahun 1966. Selain itu, tujuannya adalah menegakkan kebenaran dan
keadilan demi Ampera, Tritura, dan Hanura secara konstitusional. Adapun
pelaksanaan Pancasila dilakukan secara
murni dan konsekuen.
Orde Baru menghendaki kepentingan nasional
tetapi tidak meninggalkan
komitmen anti-kolonialisme. Orde Baru menginginkan suatu tatanan hidup,
perekonomian, dan politik yang stabil serta melaksanakan cita-cita demokrasi
politik. Strategi dan taktik Orde Baru ini tercermin dalam program kabinet
Ampera.
2)
Langkah Pengamalan UUD 1945 Oleh Orde Baru
Orde
Baru berhasil menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengoreksi kesalahan yang
dilakukan di masa Orde Lama. Produk hukum yang dihasilkan antara lain
pengesahan Supersemar ke dalam Tap. MPR No.IX/MPR/1966, Tap. MPR
No.XXV/MPR/1966 tentang pembubaran PKI dan ormasnya, dan Tap MPR
No.XII/MPR/1966 tentang perubahan landasan di bidang ekonomi dan pembangunan.
Sidang istimewa MPRS tahun 1967 menarik mandat MPRS dari Presiden Soekarno dan
pada sidang istimewa pada tahun 1968 MPRS mengangkat Soeharto menjadi presiden
sampai terselenggaranya Pemilu. Kemudian terbentuklah lembaga negara seperti
MPR, DPR, DPA dan BPK yang sesuai dengan UUD 1945.
Mekanisme
kegiatan kenegaraan lima tahunan secara garis besar adalah sebagai berikut:
1)
MPR mengadakan sidang umum, dan Pemilu
2)
Dalam sidang umum MPR bertugas;
a.
Menetapkan GBHN.
b.
Memilih presiden dan wakilnya untuk melaksanakan GBHN.
3)
Presiden, wakilnya, dan para menteri negara menjalankan tugas berdasarkan UUD
1945.
4)
Tugas Presiden:
a.
Membentuk lembaga tinggi negara, yaitu DPA dan BPK. b. Melaksanakan Pemilu tepat
waktu.
c.
Mengajukan APBN setiap tahun tepat waktu dan harus menyusun Repelita.
d.
Membuat UU dengan persetujuan DPR dalam rangka pelaksanaan UUD 1945 dan GBHN.
5) DPR bertugas mengawasi pelaksanaan tugas
Presiden.
6) Lembaga negara lainnya melaksanakan tugasnya
harus sesuai dengan UUD 1945 dan undang-undang.
4. Masa Reformasi
Dalam proses
reformasi dewasa ini,
terdapat berbagai pendapat
dan kajian untuk mengamandemen
UUD 1945, karena UUD 1945 harus bersifat fleksibel, yaitu mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Keinginan untuk
mengamandemen itu juga muncul karena adanya sifat “muitiinter- pretable” pada
pasal-pasal UUD 1945, sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan
terutama Presiden di masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Melalui
Sidang Umum MPR tahun 1999, SidangTahunan MPR tahun 2000, Sidang Tahunan MPR
2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002, UUD 1945 telah mengalami perubahan
(amandemen). Perubahan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan Batang Tubuh UUD
1945 dan tidak mengubah Pembukaan UUD
1945.
Karena Pembukaan UUD 1945 merupakan ikrar berdirinya negara Kesatuan Republik
Indonesia dan ia memuat Pancasila sebagai Dasar Negara, MPR berketetapan hati
untuk tidak mengubahnya. Pembukaan UUD 1945 serta amandemen UUD 1945
berdasarkan Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, Sidang Tahunan MPR
2001, dan Sidang Tahunan MPR 2002.
a. SISTEM KETATANEGARAAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
a.
Tujuh Kunci Pokok Sistem Pemerintahan Negara R.I.
Sistem
pemerintahan Indonesia dijelaskan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum
amandemen), yang menyebutkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan Indonesia.
Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, ketujuh kunci pokok tersebut masih relevan
dalam sistem pemerintahan Indonesia dewasa ini. Ketujuh kunci pokok itu adalah:
1) Indonesia adalah Negara yang Berdasarkan
Hukum (Rechtsstsat)
Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machts-staat). Artinya, setiap tindakan harus
berlandaskan hukum, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum dan tekanan yang dilakukan
terhadap hukum juga berarti terhadap kekuasaan. Hal ini terkandung di dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan perwujudan cita hukum yang menjiwai Batang
Tubuh UUD 1945 maupun dasar hukum yang tidak tertulis.
Yang
dimaksud dengan negara hukum bukan hanya, dalam arti formal saja, yaitu sebagai
penjaga atau alat dalam menindak segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan,
tetapi juga dalam arti materiil, yaitu alat dalam menciptakan kesejahteraan
sosial seluruh rakyat Indonesia, yang sesuai dengap alinea dalam Pembukaan UUD
1945. Ciri-ciri negara berdasarkan hukum dalam arti materiil adalah sebagai
berikut:
a. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
lihat UUD 1945 Pasal 2 ayat (I), 4 ,
5,
19, 20, 23E dan 24, 24A-C dan pasal-pasal lain sampai amandemen keempat.
2.
Diakuinya hak asasi
manusia yang tertuang
dalam konstitusi dan
peraturan perundang-undangan; lihat UUD 1945 Pasal 27, 28, 28A-28J, 29
ayat (2) dan 31 ayat (1).
3.
Adanya dasar hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas); lihat UUD 1945
Pasal
1 ayat (3).
4.
Adanya peradilan yang bebas dan merdeka serta tidak memihak; lihat UUD 1945
Pasal
24.
5.
Semua warga negara
memiliki kedudukan yang
sama di mata
hukum dan pemerintahan, wajib
menjunjung hukum dan pemerintahai tersebut tanpa kecuali, dan berhak
mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; lihat UUD
1945 Pasal 27 ayat (I)dan(2).
6.
Pemerintah berkewajiban memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan rakyat
Indonesia; lihat UUD 1945 Awal tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 31, 33 dan 34.
2) Sistem Konstitusional
Pemerintahan
Indonesia bersifat konstitusional, bukan absolut (tidak terbatas).
Pernyattaan itu menunjukkan
bahwa pemerintahan dijalankan
menurut sistem
konstitusional. Dalam
sistem ini, penggunaan
kekuasaan secara sah
oleh aparatur negara dibatasi
secara formal berdasarkan UUD 1945. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan
aparatur negara dan pemerintahan harus bersumber dari UUD 1945 atau
undang-undang yang menyelenggarakan UUD 1945.
3) Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan
Rakyat
Kedaulatan, berada
di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut
UUD 1945 (Pasal 1 ayat 2). Badan
yang diberi kewenangan untuk melaksanakan kedaulatan ini adalah MPR, yang
merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini bertugas
rnenetapkan UUD, serta melantik dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara berdasarkan haluan- haluan
yang telah ditetapkan oleh MPR, serta bertanggung jawab kepada majelis ini.
Karena ia adalah mandataris MPR, maka dia. wajib menjalankan putusan-putusan
majelis. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tugas MPR sangat luas dan
segala keputusannya mencerminkan
keinginan dan aspirasi
rakyat. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang
dipilih oleh rakyat melalui Pemilu.
4) Presiden adalah Penyelenggara Pemerintah
Negara yang Tertinggi di bawah
Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Pasal
4 ayat (I) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan dan tanggung jawab dalam menjalankan pemerintahan. Dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang wakil presiden.
Tugas
dan kewajiban Presiden serta Wakil Presiden dapat dilihat dalam pasal- pasal
UUD 1945 hasil amandemen keempat.
5) Presiden Tidak Bertanggung Jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat
UUD 1945
telah menggariskan kerjasama
antara Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat, antera lain dalam membentuk undang-undang dan
menetapkan anggaran serta belanja negara, pengangkatan duta dan konsul,
penganugerahan gelar dan tanda jasa, pemberian amnesti dan abolisi dan
lain-lain. Dalam perkara-perkara tersebut Presiden harus, mendapatkan
persetujuan DPR. Karena itu Presiden dan
DPR
lxxxviii
harus
bekerja sama, tetapi tidak dalam arti Presiden bertanggung jawab kepada DPR
karena kedudukan Presiden tidak tergantung kepada DPR. Presiden tidak dapat
membekukan dan/atau membubarkan DPR (Lihat Pasal 7C) dan DPR pun tidak dapat
menjatuhkan Presiden karena mereka adalah mitra kerja. DPR hanya mengawasi
Presiden dalam menjalankan pemerintahan. Tetapi DPR dapat mengajukan usul
pemberhentian Presiden kepada MPR (Lihat Pasal 7A, 7B).
6) Menteri
Negara adalah Pembantu
Presiden dan Menteri
Negara Tidak
Bertanggung
Jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
UUD
1945 menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh. Menteri-menteri negara dan dapat
memberhentikan menteri-menteri negara menurut ketentuan UU (lihat Pasal
17).
Menteri-menteri negara itu tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukan mereka
tidak tergantung pada DPR tetapi pada Presiden karena mereka adalah pernbantu
Presiden. Presiden berwenang mengangkat dari memberhentikan menteri.
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian diatur oleh undang-undang.
7) Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas
Penjelasan
UUD 1945 menyatakan bahwa “Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab
kepada DPR, ia bukan diktator, artinya kekuasaannya tidak tak terbatas”.
Seperti dijelaskan sebelumnya., sistem pemerintahan konstitusional tidak
bersifat Absolut. Keberadaan DPR dan menteri negara dapat mencegah terjadinya
pemerintahan yang absolut atau kekuasaan mutlak.Dalam hal ini kedudukan dan
peran DPR sangatlah kuat, karena selain tidak dapat dibubarkan oleh Presiden,
dia juga berwenang mengajukan usul dan persetujuan pembentukan undang-undang
maupun penetapan anggaran dan belanja negara. Selain itu, karena semua anggota
DPR adalah anggota MPR maka DPR memiliki wewenang untuk mengadakan sidang
istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden. Jika Presiden benar-benar
melanggar haluan yang telah ditetapkan oleh MPR. Jadi jelas bahwa hubungan
antara MPR, DPR, dan Presiden sangat erat.
D.
Susunan Kekuasaan Negara R.I.
Konsep kekuasaan
negara menurut demokrasi
sebagai terdapat dalam
UUD 1945 sebagai berikut:
(1)
Kekuasaan di Tangan rakyat
(a)
Pembukaan UUD 1945
Alinea IV..”...Maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat.......
(b)Pokok
Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 “Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan
atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan” (pokok Pikiran III).
(2) Pembagian Kekuasaan
Sebagaimana
dijelaskan bahwa kekuasaan. tertinggi adalah ditangan rakyat, dan dilakukan
menurut Undang-Undang Dasar oleh karena itu pembagian kekuasaan menurut
demokrasi sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut :
(a)
Kekuasaan Eksekutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945).
(b)Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPR dan DPD (Pasal
5) ayat
(1),
Pasal 19 dan Pasal 22C UUD 1945).
(c)
Kekuasaan Yudikatif, didelegasikan kepada Mahkamah Agung (Pasal 24 ayat (1) UUD
1945).
(d)Kekuasaan Inspektif,
atau pengawasan didelegasikan kepada
Badan Pemeriksa
Keuangan
(BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini termuat dalam UUD
1945
Pasal 20-A ayat (1) “.... DPR juga memiliki fungsi pengawasan”. artinya DPR
melakukan
pengawasan terhadap Presiden selaku penguasa eksekutif.
(e)
Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada Kekuasaan Konsultatif, yang dalam
UUD
lama didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA). (Pasal 16 UUD
1945).
Dengan lain perkataan UUD 1945 hasil amandemen telah Menghapuskan lembaga Dewan
Pertimbangan Agung, karena hal ini berdasarkan kenyataan pelaksanaan kekuasaan
negara fungsinya tidak jelas. Mekanisme pendelegasian kekuasaan yang demikian
ini dalam khasanah ilmu hukum tatanegara dan ilmu politik
dikenal dengan
istilah ‘distribution of
power’ yang merupakan
unsur mutlak dari negara demokrasi.
(3)
Pembatasan kekuasaan
Pembatasan
kekuasaan menurut konsep UUD 1945, dapat dilihat melalui proses atau mekanisme
5 tahunan kekuasaan dalam UUD 1945 sebagai berikut :
(a)
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ‘kedaulatan di tangan rakyat...”. Kedaulatan politik
rakyat dilaksanakan lewat Pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap 5 tahun
sekali.
(b)“Majelis Permusyawaratan Rakyat
memiliki Kekuasaan melakukan
perubahan terhadap UUD. Melantik Presiden dan Wakil Presiden. serta melakukan impeachment
terhadap Presiden jikalau melanggar konstitusi.
(c)
Pasal 20 ayat (1) memuat “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi pengawasan
yang berarti melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang
dijalankan oleh Presiden dalam jangka waktu 5 (lima) tahun”.
(d)Rakyat
kembali mengadakan Pemiku setelah membentuk MPR dan DPR (rangkaian kegiatan 5
(lima) tahunan sebagai realisasi periodesasi kekuasaan).
Dalam
pembatasan kekuasaan menurut konsep mekanisme 5 tahunan kekuasaan sebagaimana
tersebut di atas, menurut UUD 1945 mencakup antara lain: periode kekuasaan,
pengawasan kekuasaan dan pertanggungjawaban kekuasaan.
(4) Pengambilan Keputusan
Pengambilan
keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut:
a)
Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok Pikiran ke III. yaitu” ... Oleh karena itu
sistem negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan
rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai
dengan sifat masyarakat Indonesia”.
b)
Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak,
misalnya
Pasal
7B ayat (7).
Ketentuan-ketentuan
tersebut di atas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan
yang dianut dalam hukum tata negara Indonesia adalah berdasarkan :
a)
Keputusan didasarkan pada
suatu musyawarah sebagai
asasnya, artinya segala keputusan yang diambil sejauh mungkin
diusahakan, dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
b)
Namur demikian jikalau mufakat itu tidak tercapai, maka dimungkinkan
pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak.
(5) Pengawasan
Dalam
UUD 1945 termuat konsep pengawasan. Konsep pengawasan tersebut menurut UUD 1945
ditentukan sebagai berikut:
Pasal
I ayat (2). “Kedaulatan adalah ditangan
rakyat dan dilakukan menurut
Undang- Undang Dasar”. Dalam penjelasan terhadap pasal I ayat (2) UUD
1945 disebutkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan
tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan berdasarkan UUD.
a)
Berbeda dengan UUD
lama sebelum dilakukan
amandemen, MPR yang
memiliki kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaaan kekuasaan rakyat. Maka
menurut UUD hasil amandemen MPR kekuasaannya menjadi terbatas, yaitu meliputi
tiga hal, yaitu mengubah UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden dan
memberhentikan Presiden dengan masa jabatannya atau jikalau melanggar UUD.
b)
Pasal 2
ayat (1), Majelis
Permusyawaratan. Rakyat terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
menurut UUD 1945
hasil amandemen MPR hanya dipilih
melalui Pemilu.
c)
Penjelasan UUD tentang kedudukan DPR, disebut “...kecuali itu anggota-anggota
DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu DPR dapat
senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden...”
Berdasarkan
ketentuan tersebut di atas maka konsep pengawasan menurut demokrasi Indonesia
sebagai tercantum dalam UUD 1945 pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a)
Dilakukan oleh seluruh
warga negara, karena
kekuasaan di dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat, dan
b)
Secara formal ketatanegaraan pengawasan berada pada rakyat.
E.
Sistem Kelembagaan Negara RI
1.
Kelembagaan Negara
UUD
1945 bukan hanya mengandung semangat dan perwujudan pokok pikiran yang
terkandung di dalam Pembukaannya, tetapi juga merupakan rangkaian kesatuan
pasal- pasalnya. Sebagian dari pasal itu berisi tentang kedudukan, wewenang,
tugas dan hubungan antar lembag,a negara. Dalam Tap. MPR No.VI/MPR/1973 dan
Tap. MPR No.III/MPR/1978. MPR me-netapkan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi
negara sedangkan lembaga tinggi negara terdiri Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung.
Berdasarkan
hasil Sidang Tahunan MPR 2002, Dewan Pertimbangan Agung ditiadakan. Sehingga
struktur ketatanegaraan Republik Indonesia menjadi:
Hal-hal
mengenai DPR diatur dalam Pasal 19, 20, 20A, 21, 22B, 22C, dan dalam
pasal-pasal yang berkaitan
dengan kerja-sama dengan
Presiden, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam
Pasal 22D.
BPK
mempunyai tugas khusus untuk memeriksa keuangan negara dan kemudian hasilnya
dilaporkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (Pasal 23 E, Pasal 23F, dan 23G). Badan
ini bersifat bebas dan mandiri, jadi tidak dipengaruhi atau mempengaruhi
kekuasaan pemerintah. Tugas BPK antara lain:
1.
Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2.
Merneriksa semua pelaksanaan APBN.
Sedangkan
kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang
berada di bawahnya (Lihat Pasal 24, 24AJ yang terlepas dari pengaruh semua
lembaga negara. Sedangkan kekuasaan
kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada di
bawahnya (Lihat Pasal 24, 24AJ yang terlepas dari pengaruh semua lembaga
negara.
Komisi
Yudisial bersifat mandiri dan mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan
wewenang lain dalam
rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, martabat
serta perilaku hakim. (Lihat Pasal 24B).
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dengan
keputusan yang bersifat final, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara dan kewenangan yang diberikan
oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. (Lihat Pasal 24C)
F.
HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA RI
i.
Hubungan Antara MPR Dan Presiden
Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tinggi sebagai wakil rakyat
sesuai dengan UUD 1945 (Pasal I ayat (2) ). di samping DPR dan Presiden.
Hal ini
berdasarkan ketentuan dalam
UUD 1945 bahwa
baik Presiden maupun
MPR dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 ayat
(1)). Berbeda dengan kekuasaan MPR menurut
UUD 1945 sebelum
dilakukan amandemen 2002,
yang memiliki kekuasaan tertinggi
dan mengangkat serta
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sesuai dengan
ketentuan UUD 1945
hasil amandemen 2002,
maka Presiden dapat diberhentikan
sebelum habis masa jabatannya baik karena permintaan sendiri atau karena tidak
dapat melakukan kewajibannya maupun
diberhentikan oleh MPR.
Pemberhentian
Presiden oleh MPR sebelum masa jabatan berakhir, hanya mungkin dilakukan jikalau
Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penvuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
wakil Presiden (Pasal 7A).
Namun
demikian perlu dipahami bahwa oleh karena Presiden tidak diangkat oleh MPR,
maka Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. melainkan kepada rakyat
Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar.
ii. Hubungan Antara MPR Dan DPR
Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota. Dewan Perwakilan Rakyat,
dan anggota-anggota. Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilu.
Dengan demikian maka
seluruh anggota. MPR
menurut UUD 1945
dipilih melalui Pemilu.
Mengingat
kedudukannya sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang memegang
kedaulatan rakyat tertinggi (Pasal 2 ayat (1)) dan untuk menegakkan martabat
serta kewibawaannya, maka MPR menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat
dasar, yang bersifat struktural dan memiliki kekuasaan untuk mengubah UUD, maka
antara DPR dengan MPR harus
melakukan kerjasama yang
simultan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden.
Oleh
karena anggota DPR seluruhnya merangkap angota MPR, maka MPR menggunakan DPR
sebaoai tangan kanannya dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kebijakan yang
dilakukan oleh Presiden sebagaimana ditetapkan oleh MPR.
Dalam hal
ini DPR menggunakan
hak-hak tertentu. yang
dimilikinya seperti hak angket, hak amandemen, hak interpelasi,
hak budget, hak tanya inisiatif (Pasal 20-A).
MPR mempunyai
tugas yang sangat
luas, melalui wewenang
DPR, MPR
mengemudikan pembuatan
Undang-Undang serta peraturan-peraturan lainnya
agar
undang-undang serta
peraturan-peraturan itu sesuai
dengan UUD 1945.
Melalui wewenang DPR ia juga menilai dan mengawasi wewenang
lembaga-lembaga lainnya.
Demikianlah
hubungan DPR dan MPR sebagai bagian yang diutamakan Maielis. terutama pasca
amandemen UUD 1945 2002 ini diharapkan dengan adanya reformasi kelembagaan
tinggi negara, benar-benar dapat tercipta iklim pelaksanaan negara yang lebih
demokratis.
iii. Hubungan Antara DPR Dan Presiden
Sebagai sesama
lembaga dan sesama
anggota badan legislatif
maka DPR dan
Presiden
bersama-sama mempunyai tugas antara lain:
i. Membuat
Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1),
20 dan 21).
dan Menetapkan Undang-Undang
tentang anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 23 ayat (1)).
ii.
Membuat undang-undang berarti
menentukan kebijakan politik
yang diselenggarakan oleh Presiden (Pemerintah).
iii.
Menetapkan budget negara pada hakekatnya berarti menetapkan rencana kerja
tahunan. DPR melalui anggaran belanja yang telah disetujui dan mengawasi
Pemerintah dengan efektif. Di dalam, pekerjaan untuk membuat UU, maka Iembaga-
lembaga negara lainnya dapat diminta pendapatnya.
Sesudah
DPR bersama Presiden menetapkan UU dan RAP/RAB negara maka di dalam pelaksanaannya DPR
berfungsi sebagai pengawas
terhadap pemerintah.
Pengawasan DPR terhadap
Presiden adalah suatu
konsekuensi yang wajar
(logis), yang pada hakikatnya mengandung arti bahwa presiden bertanggung
jawab kepada DPR dalam arti partnership.
Presiden tidak
dapat dijatuhkan oleh
DPR, dan dengan
pengawasan tersebut, maka
terdapat kewajiban bagi Pemerintah untuk selalu bermusyawarah dengan DPR
tentang
masalah-masalah pokok
dari negara yang
menyangkut kepentingan rakyat
dengan UUD
sebagai
landasan kerja.
Hal ini
tetap sesuai dengan
penjelasan resmi UUD
1945 dinyatakan bahwa Presiden harus tergantung kepada Dewan.
Sebaliknya keduduk-an DPR adalah kuat, Dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh
Presiden karena anggota-anggota DPR semuanya merangkap menjadi
anggota-anggota MPR, maka
DPR dapat senantiasa
mengawasi segala tindakan-tindakan Presiden dan jikalau Dewan menganggap
bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar pidana atau konstitusi yang telah,
ma.ka Majelis itu dapat melakukan sidang istimewa untuk melakukan inpeachment.
Bentuk
kerja sama antara DPR dan Presiden tidak boleh mengingkari partner
legislatifnya. Presiden harus memperhatikan, mendengarkan, berkonsultasi dan
dalam banyak hal, memberikan keterangan-keterangan serta laporan-laporan kepada
Dewan dan meminta pendapatnva. Untuk pengawasan tersebut maka DPR mempunyai
beberapa wewenang yaitu
a.
Menurut UUD 1945.
1)
Hak budget, yaitu
hak untuk menyusun
rancangan Anggaran Belanja
dan
Pendapatan
Negara (Pasal 23 ayat (1)).
2)
Hak inisiatif vaitu hak untuk mengusulkan rancangan uu (pasal 21 ayat (1))
b.
Menurut UUD1945 hasil amandemen 2002 pasal 20-A ayat (2) dan
1)
Hak amandemen (mengadakan perubahan)
2)
Hak interpelasi (meminta kete-rangan)
3)
Hak bertanya
4)
Hak angket (hak untuk mengadakan suatu penyelidikan).
Dengan adanya
wewenang DPR tersebut,
maka sepanjang tahun
teriadi musyawarah yang diatur antara pemerintah dan DPR, dan DPR
menpunyai kesempatan untuk menemukakan pendapat rakvat secara kritis terhadap
kebijaksanaan dan politik pemerintah.
Kritik-kritik
itu dapat dilanjutkan dan dibahas oleh surat-surat kabar sebagai pembawa suara
masyarakat yang langsung sehingga terjadilah suatu 'Sosial Control` yang baik
terhadap pemerintah khususnya dan terhadap lembaga-lembaga negara lain pada
umumnya.
iv. Hubungan Antara DPR Dengan Menteri-Menteri
Hubungan
kerjasama antara Presiden dengan DPR juga harus dilaksanakan dalam hal DPR
menyatakan keberatannya terhadap kebijaksanaan menteri-menteri. Dalam hal ini
sudah sewajarnya Presiden mengganti menteri yang bersangkutan tanpa membubarkan
kabinet.
Dalam
UUD 1945 dinyatakan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden (Pasal 17 ayat (2)), sedangkan dalam penjelasannya dikemukakan bahwa
menteri- menteri itu tidak bertanggung jawab kepada DPR, artinya kedudukannya
tidak tergantung kepada Dewan, akan tetapi tergantung kepada Presiden.
Penafsiran
tentang kedudukannya menteri-menteri itu tidak bisa dilepaskan dari penafsiran
tentang kedudukan Presiden yang juga dalam penjelasan UUD, 1945, dalam pasal
tentang kementerian negara (Pasal 17) diterangkan bahvva Presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR (sistem Kabinet Presidensial)
Seperti
juga halnya dengan Presiden, menteri-menteri ti dak dapat dij atuhkan
dan/atau diberhentikan oleh DPR, akan
tetapi sebagai konsekuensinya yang waiar (logis) dari tugas clan kedudukannya,
ditambah pula ketentuan dalam penjelasan yang mengatakan bahwa Presiden harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Oleh karena itu menteri- menten pun
juga tidak terlepas dari keberatan-keberatan DPR, yang berakibat
diberhentikannya menteri oleh Presiden.
Sudah
terang bahwa DPR tidak boleh main mosi tidak percaya, melainkan secara serius
harus memberikan pertimbangan kepada Presiden dan sebaiknva Presiden tidak
boleh
bersitegang tidak
mau memperhatikan suara
DPR yang telah
diberikannya dengan tulus ikhlas, maka sebagai jalan keluar MPR
harus segera memberikan keputusannya,-dan terhadap MPR itu Presiden secara
imperatif harus melaksanakannya, terutama berdasar Pasal 3 ayat (3).
v. Hubungan Antara Presiden dengan
Menteri-Menteri
Presiden
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat (2)) dan
menteri-menteri itu secara formal tidak bertanggung jawab kepada DPR. akan
tetapi tergantung kepada Presiden. Menteri adalah pembantu Presiden (Pasal 17
ayat (3)). Meskipun kedudukan Para menteri tergantung.kepada Presiden, mereka
bukan pegawai tinggi biasa, oleh
karena itu
menteri-menterilah yang terutama menjalankan
pemerintahan dalam praktekm a, sebagai pemimpin departemen (Pasal 17
ayat (3)). menteri mengetahui seluk-beluk mengenai lingkungan pekerjaannya.
Berhubungan
dengan itu mcnteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menuntun
politik negara yang menyangkut departemennya. Memang yang dimaksudkan adalah
bahwa para menteri itu peminpin-pemimpin negara. Untuk menetapkan politik
pemerintah dan koordinasi dalam pemerintah negara, para menteri bekerjasama
satu sama lain secara erat di bawah pimpinan Presiden
Dalam
praktek Pernerintahan, timbul kebiasaan bahwa Presiden melimpahkan sebagi-an
wewenang kepada pembantu pimpinan dari Presiden Konvensi yang demikian ini
tidak boleh mengurangi jiwa dari sistem kabinet Presidensial.
vi. Hubungan Antara Mahkamah Agung Dengan
Lembaga Negara Lainnya.
Dalam Pasal
24 ayat (1)
UUD 1945 disebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut susunan dan kekuasaan Badan-Badan
Kehakiman tersebut diatur
menetapkan hubungan antara Mahkamah Agung dengan lembaga-lembaga
lainnya. Dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan
bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan pemerintah
ataupun kekuasaan serta kekuatan lainnya! Berhubung dengan itu harus
diadakan jaminan dalam bentuk UUD 1945 tentang kedudukan para hakim, sebagai
syarat mencapai suatu keputusan yang seadil-adilnya.
Negara
Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum yang
berdasarkan Pancasila. Berhubung
dengan itu kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna meneoakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila.
Ketentuan
im menunjukkan bahwa di negara Indonesia dijamin perlindungan hak-hak asasi
manusia dan bukan
kemauan seseorang yang
menjadi dasar tindakan penguasa (Govemment by law, not by
man). Sifat negara hukum ini rnengandung makna bahwa alat-alat perlengkapannya
hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan- aturan yang
telah dibuat oleh
badan yang dikuasakan
untuk mengadakan peraturan-
peraturan itu, atau singkatnya disebut dengan 'Rule of law' Undang-undang Pokok
Kehakimain (UU No.
14 tahun 1970)
dalam Pasal 5
sampai dengan Pasal
8 menjamin hak-hak asasi manusia yang mendapatkan perlindungan.
berhubungan dengan itu pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang,tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan pengadilan
selain daripada yang ditentukan baginya oleh
undang-undang. Demikian juga
tiada scoarano juapun
dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena
alat penbuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya. Selain itu tidda seorangpun dapat dikenakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pesitaan, selain atas printah
tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal clan menurut cara-cara yang diatur
dengan undang- undang. Setiap
orang yang disangkakan, ditangkap. ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum kekuatan hukum yang tetap
asas (persumfion innocence).
Semua
pengadilan memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang
soal-soal hukum kepada lembaga negara lain apabila diminta.
Mahkamah
Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara dalam bidang kehakiman dari tingkat yang
lebih tinggi, berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundangan dari tinokat
.yang .lebih tinggi. Putusan tentang tidak sah peraturan penmdang-undangan
tersebut dapat diambil berhubungan perundangan yang dinyatakan tidak sah
tcrsebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. Ketentuan ini mengatur
tentang hak menguji dari Mahkamah Agung,
yang mengandung makna,bahwa mahkamah
Agung berhak untuk
menguji secara material peraturan
yang lebih rcndah tingkatnya dari undang- undang mengenal sah tidaknya
dengan
ketentuan perundang-undangam yang lebih tinggi.
Dalam proses
reformasi dewasa ini
Mahkamah Agung merupakan ujung
tombak terutama mernberantas KKN
untuk rnewujudkan pemerintahan yang hersih sebagaimana diamanatkan oleh Tap No.
XI/MPR/1998. Mahkamah Agung harus bebas dari pengaruh kekuasaan ataupun
lainnya.
vii. Hubungan Antara BPK Dengan DPR
Badan
Pemcriksa Keuangan (BPK) bertugas memeriksa tentang keuangan
negara dan hasil perneriksaannya itu
diberitahukan kepada DPR.
Dewan Perwakilan Daerah daerah DPRD (Pasal 23-E ayat (2)) untuk
mengikuti dan menilai kebijakan ekonomis financial pemerintah yang dijalankan
oleh aparatur administrasi negara yang dipimpin oleh pemerintah.
Undang-Undang
No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menegaskan, bahwa BPK adalah
lembaga tinggi negara yang dalam pelaksanaan terlepas dari pengaruh oleh
kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri di atas pemerintah. BPK
bertugas untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara dan
memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sehubungan
dengan pcnuaian tugasnya BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan
oleh setiap orang, badan/instansi Pemerintah atau badan swasta, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang.
Pembentukan
BPK sesungguhnya memperkuat pelaksanaan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya,
oleh karena, pegaturan kebijaksanaan dan arah keuangan negara yang dilakukan
DPR saja belum dapat dikatakan cukup. Tidak kalah pentingnya adalah mengawasi
apakah kebijaksanaan dan arah tersebut dilaksanakan pemerintah dengan
sebaik-baiknya menurut tujuan semula, secara
tertib. Jadi BPK bertugas
memeriksa pertanggungjawaban pemerintah tentang keuangan negara dan memeriksa
semua pelaksanaan APBN yang hasil pemeriksanaannya diberitahukan kepada DPR.
Dewan Perwakilan Daerah dan DPRD.
Selain
pelaksanaan APBN, diperiksa pula Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
Anggaran Perusahaan-perusahaan milik negara dan lain-lain. Hasil pemeriksaan
BPK inipun disertai sanksi pidana, apabila hasil pemeriksaan mengungkapkan
sangkaan terjadinya tindakan-tindakan pidana, atau perbuatan yang merugikan
negara, maka masalahnya diberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaaan.
Ditinjau dari segi ini maka hasil pemeriksaan BPK merupakan upaya yang menjamin
terbinanya aparatur pemerintahan dan aparatur perekonomian negara yang bersih
clan sehat.
' '
Keanggotaan BPK itu
tidak mewakili suatu
golongan dan manapun
juga asal
anggotanya.
Kedudukannya bebas dan terlepas dari pengaruh pemerintah. Hal itu diperlukan
untuk menjamin agar BPK dapat bekerja secara objektif. Sudah selayaknya sebagai
sesama Lembaga Negara, antara BPK, DPR dan Pemerintah terjalin kerjasama yang
sebaik-baiknya. Namun kerjasama yang baik itu tidaklah berarti saling melindungi
atau saling menutupi kekurangan masing-masing.
Barang
siapa sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan keterangan yang diminta
BPK dengan jalan menolak atau menghindarkan diri untuk memberikan keterangan,
dapat dikenakan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan.
PENUTUP
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah konstitusi negara Republik
Indonesia yang disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945, yang pada kurun
waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang
merubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
SOAL
LATIHAN
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini
1.
Jelaskan pengertian konstitusi negara!
2.
Jelaskan konstusi sebagai landasan politik dan strategi nasional Indonesia!
3.
Jelaskan Amandemen/perubahan UUD 1945 dan Dinamika Pelaksanaan UUD 1945!
4.
Jelaskan sistem Kelembagaan dan hubungan antar lembaga Negara Kesatuan RI!
DAFTAR
BACAAN
Ismail
Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, Pen. Departemen Penerangan R.I., Jakarta,
1962.
R.H.
Purnomo. Pengimplementasian UUD’45, Pen, Seko ABRI, Bandung. 1982. CST. Kansil,
Pancasila dan UUD'45 (I, II, III) Pen. Paramitha Pradnya. Jakarta, 1973.
-----------------Sistem
Pemerintahan Indonesia. Pen. Bursa Buku FH-UI. Jakarta. 1973. JCT. Simorangkir.
Tentang dan Sekitar UUD’45, Pen, Jambatan, Jakarta, 1970.
S. Gunawan.
Hak-hak Asasi Manusia
Berdasarkan Idiologi Pancasila.
Pen. Kanisius. Yogyakarta. 1993.
M.
Hutauruk. Hak-hak dan Kewajiban Warga Negara. Pen. Erlangga. Jakarta. 1968.
Dra.
Elly M. Setiadi, M.Si. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan
Tinggi.
Pen.
Gramedia Pustaka Utama.Jakarta. 2005.
Drs.
Kaelan, M.Si. Pendidikan Pancasila. Pen. Pradnya Paramitha. Yogyakarta. 2003.
Drs.
Kaelan, M.Si. Kajian tentang UUD’ Negara R.I. (hasil Amandemen disahkan tanggal
16
Agustus
2002) (Anallsis Filosofis & Yuridis). Pen. Pradnya Paramitha. Yogyakarta.
2002.
Tim Dosen
Pancasila Unhas.Pendidikan Pancasila
Perguruan Tinggi. Universitas
Hasanuddin,Makassar,2003
Tim
Dosen Pancasila Unhas.Pendidikan Pancasila Bunga Rampai .STIMIK DIPANEGARA
,Makassar,2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar